2019


Dincintai itu suatu anugerah. Beruntunglah siapa-siapa saja yang banyak dicintai oleh orang/makhluk lain. Sedang "mencintai" adalah suatu kemuliaan yang kadang tidak semua orang bisa mencintai terhadap suatu objek yang sama. Tapi ada sesuatu yang lain terhadap satu kasus ini: rasa "mencintainya" adalah suatu anugrah yang tidak terhingga, yang semua orang beriman takut jika rasa ini tidak muncul, kerugian jika sama sekali tidak terbetik. Kepada siapakah "rasa mencintai" itu tersemat? RASULULLAH SHOLALLAHU 'ALAIHI WASSALAM. Karena janji Allah di Hari Akhir nanti: Seseorang akan bersama yang dicintainya. Siapa yang tidak berbahagia jika bisa berada disisi Beliau shalallahu 'alaihi wassalam nanti?

JIka mencintai Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam adalah suatu ibadah, yang membawa keberuntungan besar, maka mengajak orang lain mengetahui, mengenal, mencintai hingga membuat terasa seolah-olah Beliau shalallahu 'alaihi wassalam senantiasa tidak jauh dari kita, maka ini adalah kebaikan yang sangat mulia. Karena tidaklah kita mengaku memahami Al Quran dan ilmu Agama lain yang bersumber dari Al Quran kecuali kita memahami sirah yang mengambarkan kemuliaan Akhlaq Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam, karena akhlaq Beliau shalallahu 'alaihi wassalam adalah Al Qur'an

Ahad kemarin, penulis mengikuti kajian Seminar Parenting Nabawiyah yang disampaikan oleh Bunda Kurnia, seorang Trainer/Praktisi Parenting Nasional. Seorang Wali Santri 3 putra dan putri di Gontor. Bunda ditemani oleh putranya, alumni marhalah Identity 2016, Muhammad Fayadh Qutub.


Sebuah kolaborasi yang sangat "hidup" (sebagai ganti kata "maut" yang sering disandingkan dengan kolaborasi yang luar biasa). Karena memang benar-benar sangat menghidupkan! Menghidupkan kembali cinta kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam yang sempat redup karena urusan duniawi. Penyampaian Bunda yang memiliki power suara yang mampu teresonansi dengan setiap hati peserta ditambah kemerduan dan pendalaman cinta yang mendalam dari lantunan Ustadz Fayadh, maka jangan heran jika kita tidak akan mampu menahan tetesan air mata kerinduan, penyesalan karena kurangnya kita menghayati siroh Beliau shalallahu 'alaihi wassalam. 



Ustadz Fayadh lulus tahun 2016 dengan predikat MUMTAZ, Beliau sekarang kuliah di LIPIA dengan beasiswa, sambil menunggu pengumuman penerimaan di Universitas Madinah. Maka sempat terfikir, manakah yang lebih beruntung Bunda memiliki putra seperti Fayadh, atau Fayadh beruntung memiliki Bunda seperti Bunda Kurnia, atau dua-duanya beruntung karena dipilih Allah menjadi berkesempatan menjadi Penyampai Siroh yang menggugah. Tapi yang pasti, saya yang beruntung menjadi keluarga besar Gontor, dan mengenal sesama walisantri dan putranya yang menjadi inspirasi dan motivasi bagi kami sekeluarga.


Ada banyak kolaborasi Wali Santri dan putranya yang pasti akan membuat "iri" (dalam arti baik) walisantri lain. Yang "keirian" ini justru menjadi inspirsi dan motivasi untuk lebih banyak belajar dan bersyukur mengenal mereka. Di konsulat Priangan ada Prof. Solihin, salah satu Pembantu rektor di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Putranya Ustadz Syauqy salah satu lulusan dengan predikat Mumtaz, sudah menyelesaikan S1nya di Maroko. Dan saat di Maroko pun aktif sehingga sempat diliput salah satu TV swasta di Indonesia karena keterlibatannya dengan Proyek Unesco PBB. dan saat ini Ustadz Syauqy mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Rusia. Barokallah Prof.

Anak-anak kita, wali-wali santri yang biasa-biasa ini nanti bagaimana ya? 😁

Hehehe jangan khawatir yang senasib. Anak-anak kita pasti akan menjadi orang hebat. Semuanya. Karena bukti keberhasilan suatu pendidikan dalam hal ini Gontor, bukan semata-mata karena keberhasilan alumninya menembus beasiswa ke luar negeri atau kuliah di universitas ternama atau memiliki jabatan atau pekerjaan bergengsi. Tapi Gontor itu mengkader  dan membentuk mundzirul Qoum. Jadi dimanapun dia berada, berprofesi atau memangku jabatan maka jika amanah mundzirul qoum ini dijalankan maka dialah yang berhasil. Apakah mereka menjadi pedagang, pengusaha, pejabat, dosen, guru, bahkan seorang blogger, vlogger, facebooker dll maka patokannya adalah apakah mereka sudah menjadi pengingat kebaikan bagi kaumnya dan bermanfaat bagi orang banyak.

Kembali kepada Bunda Kurnia dan Ustadz Fayadh, sungguh kemarin banyak yang bersaksi bahwa kegiatan seminar parenting kemarin benar-benar telah menjadi pengingat banyak peserta, pembuka mindset akan pentingnya kembali menggali, belajar  dan senantiasa berinteraksi dengan sirah. Sirah keteladanan yang akan menyelamatkan.


Senang mengenal orang-orang hebat dan Gontor ternyata mengumpulkan orang-orang hebat. Alhamdulillah

Februari 10, 2019

Waktu itu saya duduk di kelas Lima O. Kelas lima dengan Abjad sebelum akhir (terakhir kelas lima P). Di Gontor, Abjad di kelas menunjukkan kemampaun Akademis seseroang. Jika duduknya di kelas lima B,C, atau D maka itulah santri-santri dengan kualitas akademis excellent. Nah, saya ini termasuk yang pas-pasan karena duduk di kelas LIMA O. Ketika Yudisium kelas lima dilaksanakan, seribu satu rasa saya rasakan. Berdebar, takut, berharap, tegang, keringat dingin keluar. Saya teringat pesan Ayah saya :
“Kalau kamu masuk ruangan dan dimarahi sama Pak Badri, maka tenang saja itu tandanya kamu naik kelas. Tapi kalau pas masuk ruangan Pak Badri sudah memuji-mujimu dengan indah, maka ya itulah tanda kamu tidak naik kelas”
Ketika nama saya dipanggil, kaki ini rasanya lepas semua. Terbang rasanya ga tahu kemana. Yang penting saya berlari sekuat tenaga saya. Ketika memasuki ruangan, nampak para Ustadz dipimpin KH Imam Badri berdiri dengan pandangan mata tajam menuju kepada kami. Duduk pun terasa menyiksa sekali. Kami diberikan sepucuk surat yang dilarang kami buka. Satu per satu nama kami dipanggil dan diminta duduk. Itu saja. Dan setelah semua terpanggil, barulah KH Imam Badri membuka pidatonya. Dengan pandangan mata tajam tanpa senyum, beliau berkata :
“Kalian ini benar-benar tidak pantas naik ke kelas enam. Prestasi kalian tidak ada, nilai kalian kurang, tidak patuh kepada pimpinan, sering melanggar disiplin, betul-betul sama sekali tidak ada potongan untuk dinaikkan ke kelas enam…..”
Kami semua terdiam. Tidak ada yang berani bicara, semua tenggelam pada fikiran masing-masing. Ada yang mulai menangis mendengar suara baritone KH Imam Badri. Ada yang pucat karena tahu kemungkinan mereka tidak naik kelas. Debaran dada kami semakin keras. Aku membayangkan, jika kelak kami disidang di padang Makhsyar tanpa pembela sama sekali dan semua kesalahn kita dibuka satu per satu, tentu jauh lebih mengerikan lagi. Aku memegang surat ditanganku dengan gemetar.
“Tapi para Pimpinan berkehendak lain. Kalian akan DICOBA untuk di naikkan ke kelas Enam. Ingat, status kalian ini percobaan. Apa kalian mampu dinaikkan ke kelas enam. Mampu secara akademis, secara disiplin, dan kepatuhan kalian. Kalau kalian kami anggap tidak mampu, maka bersiaplah untuk kami turunkan lagi ke Kelas Lima, atau jika ada diantara kalian yang merasa tidak mampu, maka silahkan bicara ke Staf KMI, biar diurus segera perpindahan kalian ke kelas Lima….Sekarang buka dan baca Surat yang ada tangan kalian..”
Bak diguyuru air seember rasanya. Sejuk sekali terdengar sambutan beliau di telingan kami, meskipun cara penyampiannya secara ketus begitu. Kembali teringat pesan ayah saya, yang membuat saya tersenyum. Saya buka surat itu, lalu saya baca. Yang saya baca hanya keterangan bahwa saya naik kelas enam secara PERCOBAAN, itu saja. Persyaratan lain yang berjumlah 7-8 point itu sama sekali tidak saya baca. Sudah kalah oleh kegembiraan hati ini yang membuncah.
“Sudah kalian baca semua??”
Kami mengangguk semua
“Kalau sudah, coba salah satu diantara kalian maju ke depan…Lalu sampaikan apa syarat kalian di naikkan ke kelas enam ini…”
Aku mengkerut mendengarnya. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan ditanyakan. Aku melihat salah satu temanku diminta maju ke depan, sambil berdoa semoga saya tidak ditunjuk. Dengan percaya diri teman saya tadi berkata :
“Point pertama adalah, kami diminta meneruskan tongkat estafet kakak-kakak kelas enam untuk memimpin adik-adik…..”
Belum selesai teman saya mengutarakan poin-nya, ust Badri langsung memotong :
“Tidak ada kata-kata ESTAFET itu pada surat itu, jangan ngarang kamu…Kamu pasti belum baca, hayo baca lagi..!! Estafet-estafet apa…Kalau tidak bisa menyebutkan, TURUNKAN LAGI DI KELAS LIMA…!!” teriak beliau
Spontan kamui baca lagi satu persatu, dengan cepat dan hati-hati. Dengan degup yang semakin keras tentu saja. Komat-kamit kami baca dan kami masuk-masukkan ke otak kami.Ancaman beliau jelas : KALAU TIDAK HAFAL, DITURUNKAN KE KELAS LIMA. Setelah dianggap cukup, kami ditunjuk satu-persatu (untung saya tidak ditunjuk) untuk membaca point-pont syarat naik ke kelas enam. Setelah dibentak-bentak ketika menyebutkan karena salah, akhirnya ke 8 point itu selesai kami sebutkan satu-per satu. Akhirnya, KH Imam Badri pun memberikan kami kesempatan untuk bersyukur. Dan meminta kami supaya menaati point-poit itu. Setelah itu kami keluar dengan bersalaman dengan satu-persatu Ustadz dan pembimbing kami di kelas lima. Beliau menyalamiku dengan sedikit senyum, aku tahu, beliau menjaga sekali acara ini.
Kami keluar dengan kepala tegak. Kami sudah kelas Enam. Kepala kami di cukur ABRI, dan setelah ini kami harus bersiap membersihkan pondok untuk menyambut Santri baru. Siap dengan tanggung jawab baru, karena kami sudah jadi Santri “tertua” di Pesantren ini. Siap taat dan patuh kepada pimpinan, tidak melanggar disiplin, dan Belajar dengan tekun, seperti yang tertulis di poin surat kami…..Gontor, sejuta kenangan tak terlupakan…

Februari 07, 2019 ,

KH Ahmad Sahal (peci putih) dan KH Imam Zarkasyi (Peci Hitam) beserta guru-guru Madarasah tarbiyatul Athfal. Nampak tanda bintang di depan KH Ahamd Sahal sebagai sebuah lambang dari organisasi kepanduan yang beliau ikuti, yaitu BINTANG ISLAM.
Ada cerita menarik dibalik Pandu Bintang Islam ini dan pendirian Gontor. Yaitu pada tahun 1926, di muktamar umat Islam di Surabaya. KH Ahmad Sahal bertemu dengan KH Wahab Hasbulllah. Pada pertemuan itulah, KH Ahmad Sahal yang sudah punya organisasi (Bintang Islam) tapi belum punya pesantren, bertukar pendapat dengan KH Wahab Hasbullah yang sudah pesantren tapi belum punya organisasi. Setelah berdiskusi panjang lebar tentang pergerakan Islam, keduanya menyadari pentingnya membentuk sebuah Organisasi berbasis pesantren sebagai lembaga pengakderan umat.
Maka itu, ketika Muktamar selesai, KH Ahmad Sahal pulang dan kemudian mendirikan Tarbiyatul Athfal sebagai cikal bakal pesantren Gontor (karena beliau sudah punya organisasi) dan KH Wahab Hasbullah pulang dan akhirnya mendirikan NU sebagai Jam'iyyah berbasis pesantren (karena beliau belum punya Organisasi). Maka Tahun berdirinya NU dan Tarbiyatul Athfal di Gontor itu sama : 1926.

Februari 06, 2019

Sebenarnya kenapa Gontor itu disebut pesantren Modern? Apa karena gedungnya megah? Atau karena Guru-gurunya sudah pakai Dasi dan Celana? Atau karena ada Panggung Gembira dan Drama Arena-nya?

Ternyata gelar modern ini justru diperoleh dari seorang Pendeta di Madiun ketika mengunjungi Gontor. Dia begitu terpesona melihat santri-santri Gontor bisa berbahasa Arab dan Inggris dengan fasih dan digunakan dalam percakapan sekari-hari, dia juga terheran-heran bahwa Gontor mampu menggerakkan santri dari berbagai latar belakang suku bangsa, organisasi masyarakat, dan keluarga yang berbeda dalam satu kesatuan gerakan. Di saat pesantren lain pada masa itu, masih menggunakan metode penterjemahan Kitab dalam bahasa Jawa, dan membebaskan santrinya untuk berasarama diluar kampus pesantren, sehingga agak susah didisplinkan. Maka spontan karena melihat kenyataan ini, pendeta itu menyebut Gontor sebagai Pondok Modern.

Jadi, kalau melihat dari sejarah penamaan “Modern” di Gontor ini, maka bisa disimpulkan bahwa ciri Modern yang Gontory itu Cuma dua :

1. Santri Hidup berasrama dan Berdisplin
2. Santri berbahasa Arab dan Inggris secara aktif dalam percakapan.


Jika seandainya ada yang ingin membangun pesantren Modern ala Gontor, maka syaratnya ya Cuma dua itu. Tidak perlu membangun gedung mewah lagi megah kalau belum mampu, tidak perlu punya kendaraan “dinas” yang megah dan mewah. Displinkan santri-santrimu untuk berbahasa dan berbudaya pesantren yang Iklhas, sederhana, mandiri, berukhuwah, dan merdeka secara hakiki. Itu saja cirri pesantren modern ala Gontor.

Februari 06, 2019

Pada satu malam saya bertemu dengan wali santri yang tengah makan malam di Rumah makan bibi saya. Trlihat dua orang tua dan seorang anak dengan pakaian khas santri keluar mobil. Karena sudah malam, maka mereka pun memilh makan diluar sambil ngobrol, nampak kelelahan pada wajah ayahnya. Iseng saya bertanya tentang siapa beliau dan darimana asalnya. Ternyata beliau dari Bondowoso, tujuannya adalah untuk memindahkan puteranya yang santri baru dari Gontor 1 ke Gontor 5 Banyuwangi. Saya terkejut, memindahkan puteranya dari Gontor 1 ke Gontor 5? Kok terdengar aneh? Seorang santri yang sudah mengikuti berbagai ujian masuk di Gontor, bersaing dengan 3240 santri lain. Atas izin Allah berhasil menembus saringan itu, bahkan namanya betengger di Gontor 1 yang merupalkan centre of exellent. Ini memnta dipindahkan ke Gontor 5 Banyuwangi ? Ada apa sebenarnya?

“Anak saya ini mengeluh tidak betah pak. Satu minggu di Gontor dia telfon berkali-kali. Mengeluh tidak betah. Dia mau pindah pondok yang dekat-dekat Situbondo saja. Dia mengancam akana pulang sendiri jika dia tidak dipindahkan. Akhirnya ya mau bagaimana lagi pak, saya debat dengan dia tadi malam. Saya bilang kalau kamu pindah ke Gontor lima kamu pasti nangis, kamu pasti ga kerasan, pasti merengek-rengek lagi. Kamu mau pindah kepondok manapun pasti yang kamu alami sama. Ayo kalau kamu mau pulang, kamu jaga toko abah. Ga usah sekolah...!!

Akhirnya dia mau pindah ke Gontor 5 pak, dengan syarat bahwa satu minggu sekali orang taunya harus menjenguknya. Saya heran pak, dia dulu aktifis osis di sekolahnya, tapi ternyata mentalnya tidak berdaya di Gontor...”

Saya pandang anak muda itu dengan menarik nafas panjang. Gagah, tinggi, karena dia memang lulusan SMP.Cerita sepert ini biasa terjadi di Gontor hampir setiap tahun. Biasanya diantara dua, anaknya yang rewel atau orang tuanya yang kerepotan. Keduanya sebenarnya sinergi, kalau orang tuanya rewel, maka anaknya biasanya juga tidak betah di Gontor. Kalau orang tuanya memikirkan terlalu dalam, todak percaya kepada pesantren, kurang ikhlas, maka biasanya anaknya di pesanyren demikian juga adanya...

“Nak, saya dulu juga sekolah di Gontor. Saya ini konsulat Ponorogo. Rumah saya sangat dekat dengan kampus Gontor 1 ini. Mau ditengokin setiap hari istilahnya juga pasti bisa. Kalau saya mau kabur juga ga akan ketahuan, karena dekatnya rumah saya dengan Gontor. Saya juga dulu lulusan SMP baru masuk Gontor.Tapi dua minggu awal saya di Gontor, saya menangis, sering menangis, bahakn hampir setiap hari saya menangis. Setiap kali saya tidur, saya liat atap asrama saya, saya terigat atap rumah saya. Saya lihat kasur tidur saya, saya bayangkan kasur tidur saya dirumah. Jauh lebih tebal dari ini. Saya menangis lagi. Setiap dibangunkan sholat subuh, saya ingat ibu saya yang ga pernah membangunkan saya subuh sampai saya bangun sendiri. Tapi disini jam 4 pagi saya sudah dibangunkan. Saya ga pernah mandi ngantri, bahkan mandipun saya bisa berlama-lama dirumah, tapi disini saya harus mempercepat mandi saya dengan air yang tidak sebersih air rumah saya. Saya menangis. Saya merasa dibuang disini, setiap kali melihat teman-teman saya. Saya membayangkan betapa sengsaranya hidup setiap hari tanpa ada wanita disini, sambil membayangkan nostalgia smp saya waktu itu. Saya hanyut dalam memori kelam masa lalu saya.

Sampai suatu hari, saya berkenalan dengan teman saya asal kalimantan. Dia baru lulus SD, tapi karena badannya besar maka masuk di rayon KIBAR (Asrama untuk anak-anak dewasa). Dia bercerita bahwa dari rumahnya ke Pelabuhan itu menemupuh jarak 8 jam dengan kendaraan Umum. Dan itu dia tempauh denga BERSEPEDA, karena bapaknya pada waktu itu bilang bahwa beliau tidak mempunyai banyak uang. Cuma uang pendaftaran ke Gontor dan menyeberang ke Jawa yang beliau punya waktu itu. Maka dia berangkat ke Pelabuhan dengan bersepeda. Sampai di Jawa dia ke Gontor dalam keadaan tidak tahu Gontor itu dimana. Cuma dia tanya-tanya kepada orang-orang di pelabuhan, sehingga dia harus ganti menumpang truk berkali-kali untuk sampai ke Gontor ini. Dia berfikir, kalau sampai dia tidak lulus di Gontor. Entah bagaimana dia hatus pulang ke Kalimantan dan dimana dia tinggal. Dia serius belajar untuk ujian masuk, sehingga dia bisa lolos dan bisa tinggal di Gontor sekarang. Dia tidak berharap orang tuanya menjenguknya setiap minggu, bahkan setiap tahun pun tidak. Karena dia tahu kondisi bapaknya. Dia Cuma berharap doa Bapak Ibunya agar dia lancar belajar di Gontor. Biar kelak bisa kembali ke Kalimantan dengan ilmu yang cukup...

Setelah itu saya terhenyak. Saya berhenti menangis, apa-apaan saya ini. Saya orang Ponorogo yang setiap hari bisa pulang, bisa mnta dikirim lauk setiap hari. Saya juga lulusan SMP, harusnya bisa kebih dewasa dari anak ini. Dia jauh dari pedalaman Kalimantan, lulusan SD lagi. Tapi tekadnya besar, hatinya kuat untuk menuntut ilmu. Sehingga dia harus menempuh perjalanan berliku sehingga sampai di Ponorogo ini. Ya Allah, aku saya malu nak...saya malu 100%. Saya berhenti menangis saat itu juga. Saya tidak boleh kalah dengan anak luluisan SD ini. Bismillah...saya selesaikam pendidikan saya di Gontor...

Nak, di Pesantren itu ada tirakatnya. Ada ga enaknya, bahkan bisa jadi ga enaknya itu lebih banyak dari enaknya. Masuklah Gontor dengan niat menuntut ilmu. Bukan biar bisa bahasa Arab, bukan biar bisa ke kuar negeri. Bismillah niati menutut ilmu..Nimati tirakat kamu, nikmati pendidikan mental yang luar biasa berat di Gontor ini. Kamu akan dimarahi, “tidak dipedulikan”, dibiarkan oleh teman-temanmu yang punya kesibukan sendiri-sendiri, jangan manja di pesantren. Atur hiudpmu sendiri, ikuti aturan pesantren..Kelak jika kamu sudah sampai di titik pncak, di kelas enam kamu akan menikmato semua hal ini dengan senyuman”

Panjang lebar saya bercerita kepadanya. Dia menangguk-angguk, semoga saya dia memahami apa yang sata ceriterakan diatas. Kualitas mental dari Santri dan Orang tua memang kebih menentukan dari kualitas intelejensi seorang santri. Disini mental dibina, disini mental diarahkan, disini mental dididik, disini mentaldibentuk. Biar kita tidak punya mental buruh yang hanya menengadahkan tangan, bingung cari kerjaan jika keluar dari Gontor, tidak tahu harus kemana setelah keluar dari Gontor, ga bisa jadi PNS sakit hati, ga bisa jadi Tentara lalu kecil hati. Kita diarahkan untuk menjadi pemuda yang mandiri, Ikhlas,siap mengajar dimanapun Allah menempatkan, berjuang lillah. Dimanapun Bumi berpijak, kitalah yang bertanggung jawab atas ke Islamanyya...

Semoga orang tua dan puteranya, dan kita semua segera menyadari bahwa kualitas mental di Gontor, jauh lebih perlu dipersiapkan dari pada Kualitas intelejensi yang bisa kita ikutkan di Program pembelajaran sebelum masuk Gontor. Karena mental itu tidak bisa di Kursuskan, tapi bisa diterapkan...



Beberapa hari yang lalu dapat telepon dari seorang ibu WalSan GP3. Hampir sejam!! Masya Allah, seperti teman lama, padahal baru kali itu berkomunikasi. Disamping bertanya tentang Lapak Walsan,  Beliau bercerita tentang "kisah" bagaimana bisa anaknya masuk Pondok. Sangat inspiratif. Dan selalu kisah-kisah seperti ini memang benar-benar menjadi inspirasi dan juga motivasi. 

Mendapat kisah-kisah seperti ini bagi walsan seperti mendapat hidangan buah segar di hari yang terik. Kadang kisah-kisah ini seolah-olah menjadi hiburan atas kegundahan para walsan saat berjauhan dengan pangeran atau putrinya

Ibu ini dan suaminya sama sekali tidak terfikir untuk memasukkan  putrinya ke Gontor saat itu. Pilihan utama adalah Sekolah Negeri, mengingat biaya. Karena sekolah negeri sekarang gratis. Sang Anak dari jauh-jauh hari sudah minta kepada orangtuanya untuk masuk pesantren jika lulus. Mereka hanya menganggap itu permintaan yang mungkin sebentar lagi bisa berubah. Tapi tanda-tanda perubahan tidak tampak. Maka orangtua ini membuat skenario. Bersama gurunya diatur seolah-olah sang putri diterima disuatu sekolah. Putrinya diajak. Tapi apa yang terjadi?! Putrinya mengetahui skenario itu! "Ma, koq dibawa ke sekolah ini? Kan aku mau ke pesantren. Kalo Mama suka sekolah ini Mama aja yang sekolah di sini!" 😱😱

Akhirnya orang tua ini menyerah. Setelah menghitung-hitung rencana kebutuhan dan mengumpulkannya, mereka akhirnya ke Gontor Putri. Dalam perjalanan sang orangtua masih berusaha merubah pikiran sang putri dengan cara "menakut-nakuti" kalo sekolah di pesantren itu "serem", tapi sang putri  tak bergeming. Sampai di Pondok sang putri berteriak, "Nah, sekolah seperti ini yang aku mau!!". Sang Ibu dengan senjata pamungkas memberi "ancaman" terakhir: "Kalo kamu disini, Mama bakal jarang datang lho". Sang Putri menjawab, "Ga pa pa Ma, di sini kan banyak juga yang jarang didatangi sama orangtuanya, jadi aku banyak teman." Sang Ibu tottaly surender 😁.

Saat di rumah, sang Ibu dan Suaminya benar-benar ga mau "kecolongan" lagi pada anak yang berikutnya. Juga seorang putri. Kembali biaya yang jadi pertimbangan. Anak satu aja di pondok mereka "berjihad" sungguh-sungguh buat memenuhi kebutuhannya, apalagi kalo dua orang. Mereka sama sekali tidak ada ide bagaimana nanti membiayai. Tapi qodarullah, sang Putri satu lagi ini juga ingin seperti kakaknya: ke GONTOR! 😭. Kembali segala skenario gagal. walau kakaknya yang sudah dipondok itu juga, mungkin karena sayang sama Ibunya, berusaha menakut-nakuti sang adik. Tapi gagal. Sang orangtua kembali menyerah. 

Sampailah si adik di pondok. Saat ujian masuk sang adik "bertingkah" berani dan menggemaskan. Anak yang baru lulus SD ini saat ditanya Pemguji dalam test wawancara tentang rencana kalau gagal dalam test masuk pondok, sang anak menjawab, "saya pasti masuk Gontor Tadz!" katanya yakin. Ditanya lagi, "seandainya tidak masuk?". Sang anak kembali menjawab,, "Saya pasti masuk Tadz!". Sang Ustadz pun menyerah. Bahkan sang Anak kembali berdiri, berkata kepada ustadz penguji, "Tadz, nanti, tolong masukkan saya ke GP 3 ya, biar sama dengan kakak saya," katanya kalem. Yang saya bayangkan mungkin ustadz penguji saat itu bengong,"Nih anak pede amat!" 😁

Tibalah saat pengumuman. Mengingat anaknya ga mau sekolah kalo ga di Gontor, kali ini sang Ibu benar-benar berpacu jantung menanti saat-saat pengumuman. Saat pengumuman untuk penempatan GP1, nama sang anak tidak disebut. Sang Ibu makin cemas. Penempatan GP 2, kembali nama anaknya tidak disebut. Sang Ibu bergetar, kecemasan puncak (hanya walsan gontor yang paham kecemasan ini, hehehe). Dan tibalah pemgumuman buat penempatan GP3. Nomor urut demi nomor urut kembali didengar dengan seksama saat angka makin mendekati nomor urut anaknya, adrenalin makin meninggi, dan akhirnya ... sang adik diterima persis seperti keinginannya: GP3. Mereka sujud sambil tidak henti bersyukur, dengan tumpahan air mata bahagia. Masya Allah!!.

Lalu bagaimana akhirnya orangtua ini membiayai anak-anaknya di Pondok? Ternyata benar janji Allah, jika Allah menghendaki suatu kebaikan maka Allah akan buat seseorang itu cenderung kepada kefaqihan agama. Anak-anak yang mau belajar agama adalah suatu karunia luar biasa. Dan itu pasti Allah yang menggerakkan. Bahkan teman ibu tadi ada yang bercerita,"kami mati2an agar anak kami mau masuk pesantren tapi mereka ga mau. Anak ibu malah mau sendiri, luar biasa!" Dan jika pasrah kepada jalan Allah maka Allah akan siapkan prasarana pendukungnya. Sang Ibu dan suaminya yang tadinya besar kekhawatiran akan biaya, justru tidak menyangka bisa sejauh ini membiayai putri-putrinya. Bahkan kadang rezeki datang tanpa diduga. Tadinya boro-boro bisa umroh, terfikir aja tidak mungkin karena kekhawatiran biaya sekolah, malah sekarang bisa berhaji. Dulu sangat jarang pulang kampung ke Padang saat lebaran, sekarang justru hampir tiap tahun. Masya Allah!!

Rencana Allah itu misteri. Anda ikuti KehendakNya, maka Dia akan tunjukkan jalan. Benar-benar kisah yang "mengetok" kepala kami, yang masih belum yakin akan janjiNya. 

Terima kasih Bu akan share pengalamannya. Sungguh membuat kami malu dengan Allah. 
(Kisah ini sudah mendapat izin dari Ibu yang bersangkutan untuk dishare di blog ini, Ibu 2 Putri luar biasa di GP3).

JANGAN LUPA KUNJUNGI JUGA LAPAK-WALSAN.BLOGSPOT.COM KARENA DI SANA ADA BANYAK WALSAN-WALSAN DENGAN USAHANYA MENCARI NAFKAH UNTUK MEMBIAYAI PARA MUJAHID2 ILMU. TERMASUK IBU YANG BERCERITA DIATAS. TITIPKAN BARANG ATAU PRODUK ANDA YANG MAU DIJUAL, GRATIS. DAN BELI PRODUK2 WALSAN YANG DIBUTUHKAN. MUDAHAN2AN JADI JALAN KEBAIKAN.

https://lapak-walsan.blogspot.com/

Februari 04, 2019

Nyai santosa Anom Besari, adalah istri dari Kyai Santosa Anom besari yang merupakan Pimpinan Gontor lama generasi ketiga. Saat itu kondisi Gontor sudah sangat memprihatinkan. Kemegahan dan kejayaan Gontor lama di masa lampau seperti tak berbekas. Padahal dulunya, santri Gontor lama sangat banyak ,bahkan datang dari Negeri Pasundan (waktu itu sunda adalah konsulat “Luar negeri”).
Kyai Santosa memang meninggal muda. Putra-Putra beliau ada 7 orang. Putra pertama adalah KH. Rahmat Soekarto (Keluarga pendopo / Maktabah OPPM), 3 orang putri, kemudian disusul KH Ahmad sahal, KH Zainudin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi, berurutan adalah putra –putra beliau nomer 5,6,dan 7.

Maka semenjak beliau wafat, secara “struktural” Nyai Santosa-lah yang memegang kendali kepengasuhan. Tapi kendali “adminsitratif” dan “Kelembagaan” di pegang oleh KH. Rahmat Soekarto, sebagai putra tertua dari 7 bersaudara itu. Kedua ibu dan putra ini bertekad, tak hendak membiarkan Gontor lama itu mati. Tapi siapa yang akan memimpin kelak? Ini kemudian menjadi masalah tersendiri, mengingat putra-putra yang masih sangat kecil-kecil..

Suatu hari, kakak dari Alm KH Santoso Anom Besari yang menjadi Bangsawan di Kadipaten Ponorogo memanggil Nyai santosa untuk bersama ketiga putra-putranya (Trimurti). Dengan penuh tanda tanya (karena tidak biasanya beliau memanggil Nyai santosa dengan cara seperti itu ) berangkatlah beliau bersama TRIMURTI kecil ke Ponorogo dengan delman menembus Hutan belantara Ponorogo. Sesampai di Rumah kakak Iparnya itu, TRIMURTI kecil kemudian dipanggil masuk ke sebuah kamar dan diminta untuk membaca surat-surat Al-Quran. Tak lama kemudian beliau Keluar dan langsung berkata kepada Nyai Santosa Anom Besari :

“Nyai, iki anak-anakmu sing nyatane iso nompo wahyu iki, anak-anakku ora ono sing sanggup. Wis pesenku openana sing tenanan, amrih uripe pondokan kuwi. Wis kondur wae…”

(Nyai, ini putra-putramu yang ternyata bisa menerima wahyu ini, anak-anakku tidak ada yang sanggup. Sudah, pesan saya didik baik-baik, agar pondok itu bisa maju kembali. Sudah, sekarang silahkan pulang…)

Terheran-heran Nyai Anom Besari melihat hal itu. Dipanggil mendadak, jauh-jauh datang dari kampung ke ibu kota kabupaten, dan diberi pesan cukup berat. Barangkalai mirip perasaan Abu Thalib ketika bertemu dengan waraqah bin naufal dan diceritakan tentang ciri-ciri nabi Akhir zaman yang ada diri keponaknnya, Muhammad. Nyai Anom Besari lalu teringat akan sebuah mimpinya, yaitu ketika beliau melihat dalam mimpinya itu seekor induk ayam betina dan tiga ekor anak-anaknya mencari makan dengan tekun. Seakan di sentakkan dengan semua peristiwa itu. Nyai Anom Besari betekad kuat untuk membangun kembali Pondok yang di asuh oleh Alm suaminya itu. Ketiga-tiga putra itu di sekolahkan ke berbagai lembaga pendidikan Islam ternama di Hindia Belanda. Sampai kelak kemudian hari ketiganya dipertemukan kembali sebagai pendiri dan peletak dasar konsep Gontor baru (modern).

Tapi ada satu hal menarik dari TRIMURTI, yaitu adalah ketika ternyata ketiganya memiliki karakter yang berbeda dalam membangun Gontor ini. KH Ahmad Sahal dengan karakteristik spiritualitas dan daya asuh yang luar biasa, KH Zainudin Fanani yang meletakkan dasar-dasar pergerakan dan pembaharuan pemikiran di Gontor, dan KH Imam Zarkasyi sebagai peletak dasar Kurikulum dan sistem pendidikan di Gontor.

Mari kita belajar dari indahnya “perbedaan” TRIMURTI ini. KH Ahmad Sahal, yang sejak mulanya sudah dipandang sebagai Kyai yang disegani masyarakat. Mbah Sahal, demikian beliau biasa di panggil adalah seorang Kyai dengan Tauhid dan aqidah yang luar biasa, mengingat jaman itu khurafat dan kemusyrikan merajalela. Tapi beliau adalah salah satu Kyai yang berani mengacak-acak sebuah tempat pemujaan di Selatan kota Ponorogo. Dimana disitu terdapat sebuah patung kepala Raksasa yang di keramatkan, dan semua orang takut datang ke situ. Tapi beliau dengan berani datang ke tempat itu, bahkan menduduki Patung itu denga berani, untuk menunjukkan bahwa patung-patung itu benda mati yang “La Yanfa’ wa laa Yadlurru”. Hal ini semata-mata menunjukkan betapa kokohnya keyakinan beliau akan kuasa Allah itu. Betapa tingginya keimanan beliau kepada uluhiyatullah dan rububiyatullah.

Antum bisa rasakan itu dari banyak nasehat-nasehat beliau : “Bondo bahu Pikir lek perlu sak nyawane pisan”, “Berani Hidup tak takut Mati”, “Njajal awak mendah matio” (Mencoba kemamapuan, kalau perlu sampai mati) adalah cermin betapa kuatnya keyakinan Tauhid itu. Jadi bukan hal yang aneh kalau akhirnya batin beliau terasah untuk “memfirasati zaman”. Sehingga banyak hal-hal yang beliau sampaiakn akhirnya tiba pada sebuah kenyataan.

Tahukah antum siapa PAK SODIMIN itu?? Beliau adalah tukang Pos Gontor, yang dulu ketika jaman penjajahan, beliau yang mengambil Wesel dan Paket para santri ke Jetis dengan sepeda onta...jangan dibayangkan jalan mulus dan aspal kaya sekarang, dulu ke jetis itu melewati Hutan belantara, diantara ancaman rampog dan maling di sepanjang Jalan...Tapi Alhamdulillah sampai kemudian Pos masuk ke Gontor, beliau tidak pernah kehilangn sepeserpun uang santri yang jadi amanah beliau.

Beliau meninggal beberapa tahun yang lalu, dan sampai meninggal beliau tetap hidup bersahaja dan sedrhana di Gontor selatan. Bagi yang masih belum familiar, beliau adalah Ayah dari ust Edy Kusnanto...

Satu hal yang saya ingat dari beliau adalah, ketika sempat silaturahmi ke rumah beliau. Beliau bercerita tentang "karomah" KH Ahmad Sahal, yang sering sekali beliau dampingi ketika berkeliling Ma'had. Salah satunya adalah ketika KH AHmad Sahal dan Pak Sodimin berjalan di sebuah pematang sawah. Lalu Alm Kyai Sahal berkata :

"Kuwi sawah sisih tengen kuwi bakale kanggo omah Guru, lek sing kiwo iki mbesuk bakal dadi omahe santri, lha gunung kana kae, mbesuke bakal dadi panggon tembak-tembakan, Insya Allah pondok iki bakale gedhe latare tekan celebes"

(Itu sawah sebelah kanan kita, kelak akan jadi rumah Guru, dan yang di sebelah kiri itu jadi kamar santri, lalu gunung disana itu kelak bakal jadi lapangan tembak-menembak..Insya Allah, pondok ini nanti akan besar, halamannya sampai ke Celebes (sulawesi)

Antum jangan bayangkan kondisi Gontor semaju sekarang. Kata-kata beliau di waktu disebut adalah ibarat mimpi di siang Bolong di telinga pak Sodimin. Lha bangunan Gontor cuma masjid Pusaka dan Madrosah (ADM) kok. Kondisi negara juga tidak mungkin membangun gednung saat itu.
Tapi itulah yang terjadi. Antum tahu dimana lokasi perbincangan itu?? Itu terjadi di jalan antara Gedung saudi bagian belakang dan PERDOS (perumahan dosen), dan sawah yang beliau tunjuk akhiornya betul-betul jadi rumah Guru (perdos) dan Rumah Santri (Gedung saudi). Sedangkan gunung yang beliau tunjuk adalah daerah suren, yang kelak kemudian dibeli oleh AURI dan dijadikan lapangan tembak pesawat (bayangkan, mana Indonesia punya pesawata saat itu). Dan terakhir, akhirnya kalimat beliau betul-betul jadi kenyataan, bahwa Gontor akhirnya sampai ke celebes / sulawesi (ingat, waktu itu celebes ada "luar negeri". karena negara Indonesia belum lahir)...Subhanallah....

Keyakinan Tauhid ini juga bagi saya juga adlah sebuah “Sanggahan Besar” terhadap cerita-cerita takahyuk tentang beliau. Seperti : Beliau Sholat di dua tempat di waktu yang bersamaan, Jaros Ma’had yang konon dari BOM jepang yang “di remote” oleh beliau sehingga jatuh di sungai malo dan diambil sebagai JAROS (Bel),atau konon pernah Terbang dengan sajadah ketika pembangunan masjid Gontor. Sungguh, semua itu bagi saya tidak layak di sandangkan kepada beliau yang bagi saya adalah seorang Kyai dengan “mutu Tauhid” yang exellent. Meskipun saya juga tidak menafikan adanya karomah beliau. Yang paling kita rasakan tentunya adalah Doa beliau untuk Gontor yang semakin maju dan besar.

Tapi meskipun demikian, beliau menyadari bahwa soal kurikulum pendidikan, maka beliau bukanlah ahlinya. Ada sebuah peristiwa menarik, ketika Tarbiyatul Athfal sebagai cikal bakal Gontor waktu itu para Guru menyusun Kurikulum. Ketika kurikulum itu diserahkan kepada beliau, Pak Sahal nampak kurang setuju lalu berkata :

“Kurikulum nya elek (jelek) Tunggu Zarkasyi Pulang…!!”.

Nampak dari ketegasan beliau, bahwa untuk urusan Kurikulum, maka beliau bukan ahlinya. Beliau tahu kurikulum itu jelek, tapi konsep yang bagus juga beliau belum tahu. Makanya beliau serahkan itu kepada Pak Zar, yang waktu itu masih menuntut ilmu di Padang.

Lain pula dengan karakteristik Pak Fananie. Wawasan dan networking beliau yang luas, membuat ide-ide perjuangan beliau masuk keadalam konsep manajemen organisasi modern di Gontor. Suasana pergerakan yang menggelora pada waktu itu, berhasil di eja-wantahkan oleh beliau dalam sebuah sistem organisasi mini yang solid : IKPM (nama sebelum berubah menjadi OPPM). Antum bisa rasakan sendiri bukan, betapa solidnya OPPM itu sebagai sebuah organisasi santri. Apalagi kalau sekedar di bandingkan dengan OSIS atau yang sejenisnya. Sebuah organisasi Pelajar yang mengajarkan kita manajemen organisasi modern yang di “cara-i” dan di “ciri-i” Gontor. Pengalaman Pak Fanani sebagai pengurus Muhammadiyah, dimana pada waktu itu adalah organisasi Islam Modern dalam metode dakwahnya, telah menorehkan sejarah dalam pembangunan Infrastruktur sistem yang kuat di Gontor. Antum bisa lihat keindahan pertama disini : ruhiyah salafiyah ala KH Ahmad Sahal bisa berpadu cantik dengan pemikiran progressif ala Ikhwan yang di bawa Pak Fanani. Ah, indahnya Gontor…

Dan ketika “Si Bungsu” pulang kampung, giliran karakteristik kependidikan beliau mengambil peran. Pengalaman beliau dalam menuntut ilmu di berbagai pesantren mengajarkan sebuah makna, ilmu-ilmu Islam terlalu “njlimet” dipelajari. Karena memang metodenya yang kurang pas. Untuk itulah beliau kemudian menciptakan sistem classical dalam memeplajari kiutab-kitab itu. Sekaligus merancang program pendukungnya agar selaras. Sekarang coba antum ingat-ingat lagi pelajarn antum di ma’had dulu. Ingatlah ketika Mu’allim Nahwu menerangkan Bab “Kana wa akhwatuha” maka di waktu itu, muallim Muthalaah tengah mengajarkan “Kaana Muhammadun Na’iman…”, begitu juga ulumul hadisnya, sampai mahfudatnya…rapi terperinci, tidak saling tumpang tindih, dan kita merasa enteng menerimanya. Susah membanyangkan kalau semua kitab itu dipelajari satu-persatu tanpa metode yang tertib seperti itu. Sebuah kurikulum yang bagi saya adalah sebuah materpiece dari seorang Kyai Ahli pendidikan modern, Imam Zarkasyi.

Ah, bertambah indah pelangi Gontor ini saya rasakan. Kalau saja kita mau sedikit merenung, maka akan nampak betapa harus bersyukur kita, sudah menjadi bagian dari keluarga besar Gontor.

Saat memasukkan anak ke Gontor, ada seorang teman berujar, "Wuih hebat maneh euy anak tiluan nana di Gontor. Benghar maneh mah" (terjemah: wah, hebat kamu bisa nyekolahin anak tiga2nya ke Gontor. Udah kaya). Hehehe diaminin aja lah. Siapa tau do'a. 😁
Ga tau dia nyekolahin anak ke Gontor itu 'perjuangan". Perjuangan perasaan, jantung dag dig dug, tenaga, harap-harap cemas, juga perjuangan waktu dan tenaga. 😀

Kalau melihat output, biaya pendidikan di Gontor termasuk murah dibanding lembaga pendidikan sejenis apalagi kalau mengingat "keinternasionalan" pondok ini. Kesan Gontor mahal karena bisa jadi karena orang melihat saat pendaftaran ratusan mobil dari berbagai kota di Indonesia antri terparkir, atau bisa jadi kebiasaan walisantri saat "mudhif" yang dengan "keikhlasan tinggi" ikut mentraktir teman2 anaknya. Maka sudah pasti dana yang keluar mesti banyak.

Tapi sebenarnya tidak sedikit santri yang berasal dari keluarga pas-pasan atau bahkan tidak mampu. Tapi semangat walisantri agar anak merasakan kesempatan dididik oleh pendidikan Gontor sangat tinggi. Beberapa kisahnya dapat kita temukan di berbagai aplikasi medsos atau chatting.

Ada satu kisah walisantri yang anak tertuanya sudah di Gontor kelas atas, mereka sangat ingin anak berikutnya pun sekolah seperti kakaknya, dan anaknya pun sangat ingin sekolah di Gontor. Maka hanya dengan semangat, hanya berbekal uang buat ongkos dan sekedar makan sehari-hari di pondok, berangkatlah sang Ibu beserta anaknya ke Gontor tanpa membawa uang pendaftaran! Karena memang tidak ada. Sedang sang Ayah tinggal di rumah mengusahakan ikhtiar mencari uang buat pendaftaran. Sang anak sangat senang saat dibawa ke pondok, tapi dia mungkin bertanya-tanya kok belum mendaftar ya. Sedang sang Ibu selalu kontak ayahnya menanyakan apakah sudah dapat uang. Tapi sang ayah menjawab lagi diusahakan, sambil berusaha memberi semangat sang istri untuk terus semangat dengan meyakinkan bahwa tujuan mereka mulia maka tidak mungkin Allah menyia-nyiakan. Hari pertama belum ada kabar baik.

Hari kedua, untuk menyenangkan hati anaknya, Sang Ibu dan anak pergi mengambil nomor urut pendaftaran dengan harapan jika sang ayah sudah dapat uang maka baru mendaftar. Tapi masih hari itu sang ayah belum mendapat uang. Berlanjut esoknya pun demikian.
Di rumah setiap kali habis sholat sang ayah selalu berdoa dengan linangan air mata berusaha mengetuk simpati Allah. Tapi tetap dengan keyakinan Allah tidak akan mungkin menyia-nyiakan niat baik.

Hari terakhir tiba, Sang Bunda belum mendapat kabar dari suaminya, Dan Sang Ibu hanya menangis dalam hatinya melihat sang anak hanya bisa menatap teman2nya yang  sudah mendaftar. Sang anak pun mulai bertanya, "Bu, kita beberapa kali ngambil nomor kok belum daftar2 juga?"
Sang Ibu hanya menjawab dengan senyum, "Ntar Nak, kita fokuskan dulu belajar buat ujian masuknya. Daftarnya nanti". Walau mungkin kalau diijinkan sang Ibu ingin menangis sekuat-kuatnya, tapi dia tidak ingin anaknya melihat dia menangis.
Sempat Sang Ibu bercanda sama anaknya bagaimana kalo daftar di pondok lain aja. Kini giliran sang anak yang menangis ga mau. Sang Ibu mungkin teriak dalam hati, "Ya Allah saksikanlah!!!" 😭😭

Teriakan ini mungkin disambut Allah dengan ijabah. Alhamdulillah, Sang Ayah memberi kabar bahwa insya Allah sore ini bisa kirim uang buat pendaftaran. Ada tetangga mereka yang bekerja di BUMN mengatakan bahwa lembaga zakat BUMN itu ada dana dari post amilin yang tidak diambil oleh para amilin, dan dibiasanya disalurkan untuk biaya pendidikan pesantren. Allahu Akbar!! Allah Maha Besar!!! Pendaftaran selesai selanjutnya sang Walisantri bekerja keras buat biaya anak-anaknya tiap bulan selanjutnya.

Demikian sekelumit perjuangan wali santri di Gontor yang diceritakan oleh seorang walisantri yang minta dirahasiakan identitasnya.

Sekali lagi menyekolahkan anak di Gontor itu perjuangan. Karena ini saya mempunyai ide, karena kita walisantri tau bagaimana perjuangan ini, tau bagaimana cita-cita kita semua terhadap masa depan anak-anak kita, kita bersinergi. Mari kita beli barang-barang yang menjadi usaha walisantri. Karena sedikit rupiah yang menjadi keuntungan walisantri yang memiliki usaha akan memberi andil jihad anak-anak mereka dalam menuntut ilmu. Anak-anak kita adalah para Mujahid!

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan,
"Jihad melawan hawa nafsu memiliki empat tingkatan:
Pertama: berjihad untuk mempelajari petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal salih). Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali melaluinya.
Kedua: berjihad untuk mengamalkan ilmu setelah mengetahuinya.
Ketiga: berjihad untuk mendakwahkan ilmu dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya.
Keempat: berjihad untuk sabar dalam berdakwah kepada Allah Ta'ala dan sabar terhadap gangguan manusia. Dia menanggung kesulitan-kesulitan dakwah itu semata-mata karena Allah.
Apabila keempat tingkatan ini telah terpenuhi pada dirinya, maka ia termasuk orang-orang yang Rabbani (Zaadul Ma'aad fi Hadyi Khairil `Ibaad, III/10).

Maka disaat Anda membeli dari walisantri ada peluang jariah yang akan terus berkelanjutan, siapa tau salah satunya dari sini menjadi kebaikan yang bisa mengantar ke surga. Aamiin.

Program #carabersinergiwalisantri ini kami buatkan lapak khusus walsan di 


buat para walsan yang ingin menitipkan barang yang mau dijual yang bisa diakses oleh seluruh walisantri dimanapun. Seperti Bapak Iman yang jual kamera, Atau Ibu Endah yang jual Mobil, Ibu Dokter Hanis yang jual Black Garlic, atau Ibu Sussan dari Brebes yang memiliki produk Unggulan Bawang Goreng Asli Brebes.

Kami juga menawarkan membuatkan toko online bagi walsan yang memiliki banyak barang dagangan. Toko online yg sudah dibuat seperti dari Walsan G6 Ibu Robingah yang menjual fashion dan lainnya di https://halimahonlinestore.blogspot.com/



 Atau Ibu Adenadin (G1) yang menjual aneka tas rajut di:
https://adeena-handmade.blogspot.com
Mudah-mudahan ini menjadi salah satu wasilah kebaikan bagi seluruh wali santri. Ayo bersinergi!!


Gontor itu berhasil mengikat hati semua yang berhubungan dengannya. Antara suasana pondok, Para Kiai, Assatidz dan Santri dengan Para Wali santri yang jauh tersebar. Gembira terjadi di pondok maka menjalar juga ke hati-hati para wali santri. Kesedihan di pondok maka bisa memaksa kami, walisantri, meneteskan air mata, walau kesedihan atau musibah itu terjadi bukan pada anak sendiri. Karena Gontor memperkeluargakan. Para Kiai dan Assatidz adalah Kiai dan Ustadz bagi Walisantri, Santri2 Pondok adalah anak-anak seperti anak sendiri bagi walisantri.


Pagi itu, ... di hari mulia, Jumat, kami walisantri kembali meneteskan air mata, serasa bergetar seluruh tubuh mendengar kabar ini. Memandang wajah teduh itu dengan senyuman ikhlasnya... Ya Allah 😭😭😭  innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun 😭😭. Satu lagi pemuda surga telah menempati kaplingnya, bersama ribuan para mujahid yang berpredikat syahid di sisi Yang Maha Agung.

Hari Mulia itu kesedihan terasa begitu dalam diseluruh grup walisantri. Ribuan emoticon air mata menjadi hiasan komentar hari itu.


Tapi sesungguhnya, dibalik kesedihan itu, ada setitik kebahagiaan, yang sementara masih tersembunyi. Yang diharapkan nantinya akan kembali menyeruak menjadi semangat bagi orangtua Ananda almarhum, dan juga semua walisantri, bahwa sesungguhnya anak-anak kita disana adalah memang benar-benar mujahid dalam arti sesungguhnya. Sehingga akhir mereka di dunia adalah suatu akhir yang sempurna penuh kebaikan, sehingga predikat husnul khatimah layak disandangnya.


قال الحافظ ابن عبد البر رحمه الله:

‏ “من مات طالباً للعلم

فهو من علامات حسن الخاتمة”.

‏لأنه مات على طاعة عظيمة


Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr berkata: Siapa yang mati dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia berada
dalam tanda husnul khatimah (mati yang baik) karena ia telah mati dalam ketaatan yang sangat besar.

(Diambil dari status telegram Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid: @almunajjid)

Tidak ada kerugian dengan begitu banyaknya biaya, tidak ada sia-sia dengan waktu yang tersita, tidak percuma dengan tenaga yang terkerah karena sesungguhnya Abi, Umi, Ayah, Bunda, Bapak, Ibu, Mama, Papa telah menjadi syariat anak-anak kita meniti jalan yang suatu saat akan kita dapatkan ucapan dari anak kita:

 "Umi, Abi terima kasih telah menuntun kami meniti jalan yang akan membawa kami kepada kemulian, di jalanNya."

Selamat jalan Ananda, semoga Allah mempertemukan kita kembali di SurgaNya. Aamiin




Tidak seperti banyak lembaga pendidikan besar lain di Indonesia, Pesantren Gontor tidak melayanani pendaftaran online untuk menerima santri baru. Semua proses registrasi; mengisi formulir, pembayaran dan ujian dilakukan secara langsung di pondok.
Untuk mendaftarkan diri calon santri harus melalui setidaknya 8 meja administrasi. Seluruh pos mesti dilalui oleh calon santri dan walinya secara tatap muka dan berurutan, mulai dari pengambilan formulir, pengarahan, pengisian formulir, checking kelengkapan formulir, pencatatan dan pembayaran, penomoran, pembagian asrama, hingga tes kesehatan. Tak ada istilah sistem komputerisasi apalagi online-online-nan!
Setelah melewati pos-pos itu, maka calon santri mendapatkan name tag dengan predikat “CAPEL” singkatan dari calon pelajar.
Nah kalau sudah dapat label capel, calon santri akan mengikuti 2 tes lagi. Tes lisan serta tes tertulis.Waktu yang diperlukan antara proses pendaftaran hingga tes lisan memakan waktu dua hari kurang-lebih.
Sedangkan waktu yang diperlukan dari tes lisan hingga tes tertulis tergantung tanggal berapa calon santri mendaftarkan diri. Lebih awal datang dan mendaftar, maka makin jauh jarak antara ujian lisan dan tulis.
Selama menunggu ujian tulis, capel diwajibkan tinggal di asrama yang telah disiapkan. Selama itu juga akan ada latihan dari santri senior.
Ribet?
Kalau boleh jujur, iya. Bagi manusia perkotaan yang mengaku modern serta mengutamakan efektivitas, proses tersebut sangatlah panjang dan bertele-tele. Bayangkan untuk mendaftarkan anak ke sekolah bertaraf SMP dan SMA, santri dan wali santri harus menunggu berhari-hari.
Bisa dibayangkan energi yang dikeluarkan oleh segenap keluarga yang ingin mendaftarkan anaknya ke Pesantren Modern yang berdiri sejak tahun 1926 ini.
Padahal kalau menggunakan sistem komputerisasi, kedelapan pos yang panjang itu sebenarnya bisa dipadatkan dalam dua pos saja. Satu pos untuk mengisi registrasi, satu pos lagi untuk tes kesehatan.
Dengan sistem komputerisasi, waktu yang diperlukan pun mungkin akan jauh lebih singkat. Paling tidak 2-3 jam sudah kelar. Karena yang berjalan bukan santri, wali santri dan kertas. Tetapi data.
Terlebih kalau menggunakan teknologi internet, tak akan banyak waktu yang terbuang. Khususnya bagi santri yang berasal dari daerah yang jauh dari lokasi Gontor pusat di Ponorogo dan Gontor Putri 1 di Ngawi.
Maka kitapun akan mencibir sistem pendaftaran Pesantren Gontor sebagai sistem yang sangat tidak efisien, kuno, terlalu birokratis, ketinggalan zaman!


Pendaftaran Pesantren Gontor Putri
Orang tua dan capel mengantri untuk mendaftar di Gontor Putri sejak Ramadhan

Heran? Katanya Pondok Modern, komputer aja gak punya.
Ya, saya juga. Sebelum mengenal Ponpes Gontor, pernah membatin saat melihat reklame penunjuk jalan di Ponorogo bertuliskan “Pondok Modern Gontor … KM”. “Belagu banget pakai ‘modern’ segala, pesantren ya pesantren.” Pikir saya itu hanya trik marketing.
Setelah mengamati secara seksama seluruh proses pendaftaran calon mujahid yang melibatkan ratusan santri itu, Anda akan berdecak kagum.
Bayangkan, semua sistem pelayanan mulai dari pintu masuk, parkir, keamanan, pusat informasi, pos pendaftaran, penginapan, hingga pintu keluar, semua dikerjakan oleh santri.
Kalau saat pendaftaran bapak-ibu dilayani pemuda rapi, pakai kemeja panjang, dasi dan jas, sepatu pantopel, rambut cepak, kelihatan dewasa, bahkan sampai terlintas dipikiran, “kayaknya cocok ini dijadikan mantu.”😀 Tidak heran ada yang memanggil mereka dengan sebutan, “Ustadz…”, ketahuilah mereka itu santri. Bukan guru atau ustadz.
Mereka semua ditugaskan untuk mengurus ribuan orang yang datang ke Pondok Gontor putri maupun putra bersama keluarganya. Proses kerja yang diterapkanpun menggunakan sistem yang sangat terorganisir dan sistemik.
Setiap beberapa jam sekali data di meja pendaftaran dilaporkan. Bahkan catatan hadir tamu serta parkir juga ada datanya.
Di luar alur sistem utama pelayanan terdapat pula sub sistem kerja yang menopang, mulai dari trayek yang disediakan di terminal bus Ponorogo, pembimbing capel di setiap asrama, petugas yang menyapu dan menjaga kebersihan kawasan, hingga petugas yang menyediakan tempat jualan makanan. Semua dilakukan oleh santri yang masih remaja setingkat anak SMP dan SMA.
Tak ada satupun orang-orang tua yang melakukan semua pekerjaan itu. Yang lebih menarik lagi para santri itu melakukan pekerjaannya dengan riang gembira dan tulus tanpa dibayar sepeserpun.


Alamat Pendaftaran Gontor Putri Mantingan
Suasana penuhnya Pendaftaran Pesantren Gontor

Dalam istilah manajemen modern apa yang mereka tampakan sangat berorientasi pada service excellent (pelayanan prima). Ramah, murah senyum dan sangat komunikatif.
Dari sini kita melihat para pengelola pondok punya maksud lain dengan menerapkan sistem yang kita ledek tak efisien itu. Para pengelola pondok sepertinya ingin menjadikan sistem penerimaan santri baru ini sebagai media pendidikan.
Mereka diajarkan lewat praktek langsung tentang bagaimana cara mengurus kemaslahatan orang banyak. Langsung lho ya…bukan sebatas teori.
Saya yakin misi itu berhasil.
Dari sini juga Ponpes Gontor ingin mengajarkan dan meyakinkan pada orang tua bahwa anak-anaknya digembleng untuk mandiri, berani, cekatan sebagaimana kakak-kakak kelas yang sedang melayani proses pendaftaran.
Terkadang memang betul bahwa kemajuan teknologi informasi itu dapat mempermudah hidup kita. Namun bagaimanapun juga komputer dan kemajuan teknologi itu ternyata tak mampu mengajari manusia tentang apa itu hidup, kehidupan dan kebijaksanaan.
Benar saja apa yang dikatakan alumni-alumninya bahwa Pondok Modern Gontor itu bukan sekedar tempat menuntut ilmu, tapi ia adalah sekolah kehidupan.
“Ustadz, anak saya sering juara kelas dan lomba waktu sekolah, kenapa setelah di pondok nilainya sering jeblok?” Begitu curhat sebagian wali santri.
Jelas, dulu di sekolah kerjaanya cuma belajar materi sekolah. Kalau di Gontor, dia harus cuci baju sendiri, dihukum karena melanggar bahasa dan disiplin. Sudah pasti waktunya tersita.
Belum lagi wajib pramuka, harus latihan pidato dengan segala materi yang harus dipersiapkan, ada kursus keterampilan, seni, komunitas sains dan klub olahraga yang semuanya itu di luar jam masuk kelas efektif yang dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore.
Semua yang engkau lihat, engkau dengar dan engkau rasakan adalah pendidikan.

"Ada satu poin penting lagi kenapa di Gontor tidak ada pendaftaran online, karena mengantarkan anak ke Pondok Gontor itu harus beserta kain kafannya. Artinya, percaya seutuhnya bahwa putra-putri mereka diajarkan dan diedukasi, bukan diperbudak." (Sumber)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.