Tidak seperti banyak lembaga pendidikan besar lain di Indonesia, Pesantren Gontor tidak melayanani pendaftaran online untuk menerima santri baru. Semua proses registrasi; mengisi formulir, pembayaran dan ujian dilakukan secara langsung di pondok.
Untuk mendaftarkan diri calon santri harus melalui setidaknya 8 meja administrasi. Seluruh pos mesti dilalui oleh calon santri dan walinya secara tatap muka dan berurutan, mulai dari pengambilan formulir, pengarahan, pengisian formulir, checking kelengkapan formulir, pencatatan dan pembayaran, penomoran, pembagian asrama, hingga tes kesehatan. Tak ada istilah sistem komputerisasi apalagi online-online-nan!
Setelah melewati pos-pos itu, maka calon santri mendapatkan name tag dengan predikat “CAPEL” singkatan dari calon pelajar.
Nah kalau sudah dapat label capel, calon santri akan mengikuti 2 tes lagi. Tes lisan serta tes tertulis.Waktu yang diperlukan antara proses pendaftaran hingga tes lisan memakan waktu dua hari kurang-lebih.
Sedangkan waktu yang diperlukan dari tes lisan hingga tes tertulis tergantung tanggal berapa calon santri mendaftarkan diri. Lebih awal datang dan mendaftar, maka makin jauh jarak antara ujian lisan dan tulis.
Selama menunggu ujian tulis, capel diwajibkan tinggal di asrama yang telah disiapkan. Selama itu juga akan ada latihan dari santri senior.
Ribet?
Kalau boleh jujur, iya. Bagi manusia perkotaan yang mengaku modern serta mengutamakan efektivitas, proses tersebut sangatlah panjang dan bertele-tele. Bayangkan untuk mendaftarkan anak ke sekolah bertaraf SMP dan SMA, santri dan wali santri harus menunggu berhari-hari.
Bisa dibayangkan energi yang dikeluarkan oleh segenap keluarga yang ingin mendaftarkan anaknya ke Pesantren Modern yang berdiri sejak tahun 1926 ini.
Padahal kalau menggunakan sistem komputerisasi, kedelapan pos yang panjang itu sebenarnya bisa dipadatkan dalam dua pos saja. Satu pos untuk mengisi registrasi, satu pos lagi untuk tes kesehatan.
Dengan sistem komputerisasi, waktu yang diperlukan pun mungkin akan jauh lebih singkat. Paling tidak 2-3 jam sudah kelar. Karena yang berjalan bukan santri, wali santri dan kertas. Tetapi data.
Terlebih kalau menggunakan teknologi internet, tak akan banyak waktu yang terbuang. Khususnya bagi santri yang berasal dari daerah yang jauh dari lokasi Gontor pusat di Ponorogo dan Gontor Putri 1 di Ngawi.
Maka kitapun akan mencibir sistem pendaftaran Pesantren Gontor sebagai sistem yang sangat tidak efisien, kuno, terlalu birokratis, ketinggalan zaman!

Heran? Katanya Pondok Modern, komputer aja gak punya.
Ya, saya juga. Sebelum mengenal Ponpes Gontor, pernah membatin saat melihat reklame penunjuk jalan di Ponorogo bertuliskan “Pondok Modern Gontor … KM”. “Belagu banget pakai ‘modern’ segala, pesantren ya pesantren.” Pikir saya itu hanya trik marketing.
Setelah mengamati secara seksama seluruh proses pendaftaran calon mujahid yang melibatkan ratusan santri itu, Anda akan berdecak kagum.
Bayangkan, semua sistem pelayanan mulai dari pintu masuk, parkir, keamanan, pusat informasi, pos pendaftaran, penginapan, hingga pintu keluar, semua dikerjakan oleh santri.
Kalau saat pendaftaran bapak-ibu dilayani pemuda rapi, pakai kemeja panjang, dasi dan jas, sepatu pantopel, rambut cepak, kelihatan dewasa, bahkan sampai terlintas dipikiran, “kayaknya cocok ini dijadikan mantu.”😀 Tidak heran ada yang memanggil mereka dengan sebutan, “Ustadz…”, ketahuilah mereka itu santri. Bukan guru atau ustadz.
Mereka semua ditugaskan untuk mengurus ribuan orang yang datang ke Pondok Gontor putri maupun putra bersama keluarganya. Proses kerja yang diterapkanpun menggunakan sistem yang sangat terorganisir dan sistemik.
Setiap beberapa jam sekali data di meja pendaftaran dilaporkan. Bahkan catatan hadir tamu serta parkir juga ada datanya.
Di luar alur sistem utama pelayanan terdapat pula sub sistem kerja yang menopang, mulai dari trayek yang disediakan di terminal bus Ponorogo, pembimbing capel di setiap asrama, petugas yang menyapu dan menjaga kebersihan kawasan, hingga petugas yang menyediakan tempat jualan makanan. Semua dilakukan oleh santri yang masih remaja setingkat anak SMP dan SMA.
Tak ada satupun orang-orang tua yang melakukan semua pekerjaan itu. Yang lebih menarik lagi para santri itu melakukan pekerjaannya dengan riang gembira dan tulus tanpa dibayar sepeserpun.

Dalam istilah manajemen modern apa yang mereka tampakan sangat berorientasi pada service excellent (pelayanan prima). Ramah, murah senyum dan sangat komunikatif.
Dari sini kita melihat para pengelola pondok punya maksud lain dengan menerapkan sistem yang kita ledek tak efisien itu. Para pengelola pondok sepertinya ingin menjadikan sistem penerimaan santri baru ini sebagai media pendidikan.
Mereka diajarkan lewat praktek langsung tentang bagaimana cara mengurus kemaslahatan orang banyak. Langsung lho ya…bukan sebatas teori.
Saya yakin misi itu berhasil.
Dari sini juga Ponpes Gontor ingin mengajarkan dan meyakinkan pada orang tua bahwa anak-anaknya digembleng untuk mandiri, berani, cekatan sebagaimana kakak-kakak kelas yang sedang melayani proses pendaftaran.
Terkadang memang betul bahwa kemajuan teknologi informasi itu dapat mempermudah hidup kita. Namun bagaimanapun juga komputer dan kemajuan teknologi itu ternyata tak mampu mengajari manusia tentang apa itu hidup, kehidupan dan kebijaksanaan.
Benar saja apa yang dikatakan alumni-alumninya bahwa Pondok Modern Gontor itu bukan sekedar tempat menuntut ilmu, tapi ia adalah sekolah kehidupan.
“Ustadz, anak saya sering juara kelas dan lomba waktu sekolah, kenapa setelah di pondok nilainya sering jeblok?” Begitu curhat sebagian wali santri.
Jelas, dulu di sekolah kerjaanya cuma belajar materi sekolah. Kalau di Gontor, dia harus cuci baju sendiri, dihukum karena melanggar bahasa dan disiplin. Sudah pasti waktunya tersita.
Belum lagi wajib pramuka, harus latihan pidato dengan segala materi yang harus dipersiapkan, ada kursus keterampilan, seni, komunitas sains dan klub olahraga yang semuanya itu di luar jam masuk kelas efektif yang dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore.
Semua yang engkau lihat, engkau dengar dan engkau rasakan adalah pendidikan.
Posting Komentar