Sejak pukul 06.15 WIB pagi, sejumlah guru Kulliyatu-l-Mu‘allimin Al-Islamiyah (KMI) PM Gpntor telah menyemut di depan Kantor KMI di gedung Saudi 6 itu. Sebentar kemudian, datang seorang guru senior membuka pintu kantor lebar-lebar, lantas duduk di salah satu kursi yang disediakan untuk Syaiku al-Diwan. Para guru, yang semula menyemut di luar kantor, kemudian berebutan memasuki kantor. Para guru muda yang sebelumnya menyemut itu, kini mengular di depan guru senior yang baru datang itu. Mereka menanti antrean ditandatangani i‘dad (‘persiapan’) mengajarnya.
Tak berapa lama, beberapa guru senior yang lain juga berdatangan, masuk kantor, duduk, dan menghadapi guru-guru muda yang hendak menandatangankan i‘dad-nya. Antrean pun terurai. Namun, guru-guru muda itu, silih-berganti, masih datang memasuki kantor dengan tujuan yang sama; makin lama makin berkurang seiring dipukulnya bel masuk (pukul 07.00 WIB). Yang i‘dad-nya telah ditandatangani, lalu menandatangani daftar hadir di sisi ruangan kantor yang lain, lantas, mereka pun siap mengajar. Umumnya, guru yang menandatangankan i‘dad itu adalah mereka yang akan mengajar pada jam pelajaran pertama, kedua, atau ketiga. Kadang, karena berjubelnya jumlah guru yang akan menandatangankan i‘dad, Direktur KMI dan dua orang wakilnya pun akan turun tangan, agar para guru itu tidak terlambat menuju kelas masing-masing untuk mengajar.
Bersamaan dengan itu, beberapa orang guru yang oleh Direktur KMI ditugasi mengawasi berlangsungnya proses pembelajaran di kelas-kelas, mulai beraksi; mengambil borang laporan, yang akan diisi ketika mengawasi itu, dan berangkat menuju kelas-kelas yang telah ditentukan. Hasilnya, pada hari Kamis nanti, akan dibacakan Direktur dalam bahasa Arab, sebagai evaluasi pada pertemuan guru-guru yang disebut “Kemisan.” Siapa guru yang mengajarnya sudah benar, sesuai antara materi dan thariqah (‘metode’); siapa yang menjarnya belum sesuai, apa kekurangannya; juga siapa saja guru yang terlambat masuk kelas, apa alasannya, dan berapa menit dia terlambat. Semua dilaporkan oleh Direktur. Khusus untuk masuk kelas ini, K.H. Imam Zarkasyi membuat perumpamaan. Jika guru terlambat 5 menit, maka dia telah merugikan 38–42 orang siswanya. Maka, terlambat 5 menit itu sesungguhnya, telah merugikan siswa 200 menit (40 X 5 X 1 menit = 200 menit).
Sebagai sebuah komunitas budaya yang memiliki lembaga tersendiri, Pondok Modern Darussalam Gontor (PM Gontor/Gontor) memiliki sebuah tradisi, yakni penandatanganan I‘dad. Pemeran utamanya aktivitas ini adalah guru-guru senior, yang telah menamatkan sekolahnya setingkat S2. Mereka disebut Syaikhu al-Diwan.
Tidak ada ketentuan bahwa yang menandatangani i‘dad harus sesuai dengan keahliannya. Misalnya, penanda tangan i‘dad bahasa Inggris harus guru yang ahli bahasa Inggris; i‘dad pelajaran Bahasa Arab tidak boleh ditandatangani oleh Syaikhu al-Diwan alumnus prodi Pendidikan Agama Islam, begitu seterusnya. “Lho, terus, kualitas mengajarnya bagaimana?” Bagi Gontor, bukan materi yang terpenting, melainkan ruh guru ketika mengajar. Bahwa kesediannya mengajar itu sudah merupakan nilai tersendiri. Dalam komunitas budaya, kesediaannya mengajar, setelah sebelumnya menandatangankan i‘dad, itu sudah bisa disebut upaya melestarikan budaya atau tradisi.
Dalam evaluasinya, selain membacakan kesalahan-kesalahan dalam mengajar, Direktur juga menjelaskan bagaimana sebaiknya guru mengajar. Misalnya, guru yang mengajar Al-Qur’an harus berkopiah; guru Geografi harus membawa alat peraga berupa peta; guru Khath atau kaligrafi haruslah berkemampuan menulis khath dengan baik; guru-guru Grammar (bhs. Inggris) bukan hanya mengajarkan rumus-rumus Tense, melainkan juga contoh-contonya; guru harus mengajar langsung pada materinya, tidak nggedebus (‘bercerita ke sana ke mari tanpa isi’); begitu seterusnya.
Saat menandatangankan i‘dad, para Syaikhu al-Diwan itu akan meneliti dengan seksama i‘dad guru-guru yang akan mengajar itu, mulai jadwalnya (mengajar jam keberapa, kelas berapa, tanggal bertapa, dsb.), hingga tata cara mengajar berdasarkan acuan evaluasi pendidikan (apa bab yang diajarkan, pelajaran ke berapa, apa tujuan utamanya, dan apa tujuan khususnya). Jika belum lengkap, akan disuruh melengkapi sebelum ditandatangani Syaikhu al-Diwan.
Syaikhu al-Diwan dijadwal sesuai jam mengajarnya. Jika mengajar jam pelajaran ketiga, tugasnya sebagai Syaikhu al-Diwan hanya sampai pukul 09.00 WIB, sebelum masuk kelas di jam pelajaran ketiga. Namun, kebanyakan guru dijadwal menjadi Syaikhu al-Diwan hingga jam pelajaran kelima atau keenam. Yang jelas, harus selalu ada guru senior yang duduk sebagai Syaikhu a-Diwan selama proses pembelajaran di KMI berlangsung. Pasalnya, akan selalu ada guru yang menandatangankan i‘dadnya hingga jam pelajaran kelima. Mereka yang akan mengajar pada jam pelajaran keenam. Untuk hal ini, seperti pernah penulis kutip, selama masih aktif mengajar dan menjadi Direktur KMI, K.H. Imam Zarkasyi selalu menekankan, “Dudukmu (sebagai Syaikhu al-Diwan, Pen.) di Kantor KMI itu sudah bermanfaat.
Dahulu, karena jumlah guru senior masih sangat sedikit, di tiap-tiap meja tertulis nama-nama guru. Di atas meja itu pula segelas teh manis, dan sepotong kue (pisang goreng, tempe gorang, atau tahu goreng) diletakkan. Zaman dulu, semua Syaikhu al-Diwan harus diam di kantor hingga jam pelajaran terakhir. Sekarang keadannya berbeda jauh, seiring meningkatnya jangka Pendanaan yang dimiliki Pondok. Tidak ada lagi nama-nama guru senior di setiap meja. Karena jumlahnya cukup banyak, kehadiran mereka dijadwal oleh Direktur KMI. Untuk suguhan, disediakan sebuah ruangan (pantry). Di situ, disediakan segala macam minuman, dispenser, bahkan pemasak air (listrik), serta aneka ragam makanan kecil. Bukan hanya itu. Di waktu istirahat, bagi mereka juga disediakan sarapan pagi dengan menu istimewa di Dapur Guru.
Begitulah Gontor menjaga tradisi hingga kini. Hampir semua guru menyadari kesakralan setiap tradisi di dalam komunitas budaya Gontor, lengkap dengan pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Posting Komentar