Misteri "Waktu" di Gontor (Perspektif Wali Santri)
Di tempat mana saat kita merasa waktu berjalan cepat dan disaat yang sama terasa berjalan begitu lambat? Di pesantren, especially di Gontor. Kembali saya tuliskan kisah sang anak.
Umumnya jika kita tidak merasakan kenyamanan pada suatu tempat atau suatu momen, waktu terasa begitu lama bergulir. Serasa hati ingin segera memerintahkan waktu agar cepat bergerak atau memaksa diri agar segera meninggalkan tempat itu. Ketidaknyaman ini memaksa sel-sel kelabu dalam kepala kita melihat segala sesuatu di momen dan tempat itu terasa membosankan.
Sebaliknya, jika kita merasakan suatu kenyamanan atau kebahagiaan di suatu momen atau tempat, waktu serasa enggan berlama-lama dengan kita. Waktu seolah-olah bergerak cepat, seperti anak kecil yang lincah bermain, baru tampak sebentar kemudian sudah hilang lagi. Dan otak kita pun memandang segala sesuatu sebagai pelipur hati, nutrisi kebahagiaan.
Pandangan tentang waktu diatas tidak sepenuhnya berlaku di Gontor, walau bisa jadi berlaku pada sebagian.
Suatu ketika saat anak menelepon pertama setelah liburan dan kembali ke pondok, saya sampaikan, "Semangat ya Nak, kita kumpul lagi sekitar lima bulan lagi". Dia menjawab, "Tenang Yah, 5 bulan mah ga lama, disini waktu terasa cepat". Gak lama??! Di sini kami merasakan sebaliknya, Seminggu kau tak telepon, Bundamu uring-uringan seakan-akan berbulan-bulan tidak ada kabar, ayahmu juga yang ketempuhan gelisahnya Bundamu!, begitu lompatan perasaan yang terungkap di hati saat itu. Tapi ya tidak terucap. Yang terucap di ujung mike telepon: "Ya Nak, semangat terus!". Bah, padahal kami disini yang seharusnya disemangati 😁.
Begitulah anak Gontor. Waktu terasa cepat bukan sepenuhnya karena kenyamanan. Siapa yang berani mengatakan disiplin ketat, makan antri, sederet hukuman, pelajaran menumpuk, belum lagi bentakan, sendal atau sepatu, atau bahkan uang hilang, ngambil kiriman juga antri, kadang ga sempat makan, mandi antri, buang air antri, ga bisa main hape, ga boleh bebas jalan-jalan, setumpuk tanggungjawab dkk, dll, dsb adalah suatu kenyamanan?? Dimana-mana itu bisa dikategorikan suatu misery, sebuah ketidaknyamanan bahkan bisa jadi kesengsaraan bagi sebagian.
Tapi di Pondok beda. Ternyata kuncinya, dari apa yang saya lihat, sistem pendidikan di Gontor berhasil merubah paradigma. Waktu akan terasa lama kalau kita diam, maka di Gontor bergerak adalah kewajiban. Santri diarahkan agar segala sesuatunya dilaksanakan dengan gesit. Diam adalah aib dan akan tertinggal bahkan tertindas. Coba kita perhatikan dinamika santri setiap hari, jarang sekali yang berjalan santai, telat antri makan bisa jadi tidak kebagian, telat antri ke kamar mandi siap-siap akrab dengan bau keringat, dll. Sederet jadwal diatur agar tidak ada kesempatan bagi melamun,berfantasi kosong. Dan jika santri tidak mengikuti alur ini, siap-siap waktu menjadi hantu, terasa lama dan menjadi ketidaknyamanan.
Dan anak-anak kita dididik dalam sistem itu. Masya Allah, Alhamdulillah. Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka mengagung-agungkan Gontor tapi semata-mata karena ingin mengabarkan suatu nikmat, fa amma bi ni'mati robbika fahaddist. (RiM)
Posting Komentar