YUDISIUM. Mengenang Ustad Nasrulloh Zarkasyi dg Tulisan2 Beliau

Januari 13, 2019


Salah satu peristiwa dramatik di Pondok Modern Darussalam Gontor, selain pengumuman kelulusan penerimaan siswa baru, adalah yudisium. Yudisium ini dialami oleh siswa kelas 5 ketika akan naik ke kelas 6, dan yudisium kelulusan siswa kelas 6.

Suasananya sangat dramatik, menegangkan, terutama bagi yang mengalaminya. Aneka ragam raut wajah ada di sana: cemberut, sedih, bahagia, santai, atau pun serius. Semua tergantung perasaan mereka terkait ketika mengerjakan soal-soal ujian akhir sebelumnya. Jika merasa bisa dan mudah mengerjakan atau menjawab soal atau pertanyaan dalam ujian lisan, akan merasa santai namun tetap tawaddu, karena bisa mempengaruhi perasaan teman yang lain. Sebaliknya, yang merasa sejak belajar sudah kesulitan, kemudian juga sulit mengerjakan soal, maka perasaan khawatir akan lebih besar, sehingga menampakkan wajah sedih: sedih jika tidak naik, dan sedih jika kemudian harus pindah ke pondok cabang. Sementara itu, kelompok pertengahan tak kalah dagdigdug-nya. Mereka merasa bisa, tapi di lubuk hati terdalam, tidak dapat dibohongi, jawabannya dalam ujian banyak yang tidak akurat, sekenanya, sehafalnya. Maka, perasannya terombang-ambing antara lulus atau tidak, naik atau tidak.

Perjalanan yudisium di PMDG sangat panjang, terutama untuk siswa kelas 6. Bayangkan, jumlah materinya ada 65 mata ujian. Memang tidak semuanya dipelajari ketika kelas 6, melainkan sudah dipelajari ketika kelas 3 atau 4 atau 5. Karena itu, waktu ujiannya pun dibagi menjadi 2 gelombang. Ujian Akhir Gelombang I diadakan semasa liburan pertengahan tahun. Ujian gelombang II digelar pada akhir tahun, dalam dua jenis ujian, lisan dan tulis. Ujian Tulis Gelombang II bisa memakan waktu 3 minggu. Sehingga diperlukan istirahat beberapa hari, kecuali hari libur Jum‘at, kemudian dilanjutkan lagi.

Usai ujian dan dikoreksi, nilai pun dikumpulkan oleh para wali kelas dan Staf Kuliyyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyah (KMI). Nilai itu diolah, dipadukan dengan nilai Ujian Gelombang I. Setelah semua nilai terkumpul ―termasuk nilai praktik mengajar dan raport mental―, diolah untuk menentukan taqdir (‘peringkat kelulusan’). Sebelum bulan Ramadhan, nilai itu telah selesai diolah. Kemudian, pada awal Ramadhan dilakukan sidang kelulusan bagi siswa kelas 6. Sebagian besar guru senior serta wakil pengasuh pondok cabang, serta tak ketinggalan wali kelas, staf KMI, dan Pengasuhan Santri hadir dalam sidang tersebut.

Akhir-akhir ini, setelah menggunakan sistem komputerisasi, waktu sidang lebih pendek, diawali pukul 21.00 dan selesai pukul 24.00 atau pukul 1.00 dini hari. Dulu, konon, karena masih memakai sistem manual, sidang bisa sampai waktu sahur. Karenanya, setiap malam sidang yudisium dapat dipastikan disediakan makan, meskipun sekerang pukul 12 sudah selesai dan perut belum begitu lapar betul, tetap disediakan makan. Ya, tradisi memang sulit dihilangkan.

Sidang dibuka oleh Direktur, sementara Staf KMI menyajikan data dan prosedur  penilaian melalui tampilan LCD. Tahap pertama, kepada para peserta sidang dibagikan lembaran nilai tiap-tiap mata uji atau item penilaian kelulusan, termasuk nilai mental, ujian lisan, serta praktik mengajar seperti tersebut di atas. Tahap ini ditujukan untuk mengklasifikasikan taqdir atau peringkat kelulusan berdasarkan perolehan nilai. Di PMDG klasifikasi taqdir itu terbagi menjadi 9 peringkat, dari mumtaz atau ‘dengan pujian’ dengan nilai bahasa Arab di atas 7, mumtaz dengan nilai bahasa Arab di di bawah 7, sampai taqdir rasib atau tidak lulus, yang nilai rata-ratanya  di bawah 4,5. Setelah selesai, lembaran dikumpulkan lagi oleh panitia Ujian dan Staf KMI, untuk diganti dengan lembar lain yang dipakai sebagai pertimbangan kelayakan menjadi guru, di Gontor 1, Pondok Cabang, atau pondok alumni. Ringkasnya, sejak babak kedua ini, sidang sudah mengarah kepada penentuan tempat pengabdian. Mereka yang mumtaz, tentu saja, prioritas utama diberi kesempatan mengajar di Gontor Pusat. Apalagi jika nilai Bahasa Arab dan Praktik mengajar, serta mentalnya baik. Tapi, tidak semua yang mumtaz ditempatkan di Gontor, melainkan juga di pondok cabang atau pondok alumni. Semuanya tergantung akumulasi nilai yang menjadi pertimbangan. Yang pasti, Untuk guru Gontor pusat, nilai mental, Bahasa Arab, Al-Qur’an, serta Praktik Mengajarnya harus baik. Sehingga Gontor sebagai centre of excellent tetap dapat dipertahankan, dengan tanpa melupakan "even the best can be improved."

Nah, pada babak-babak akhir ini biasanya terjadi perdebatan panjang. Pertama tentang ketentuan nilai Bahasa Arab calon guru Gontor Pusat. Direktur KMI mematok 5,5. Lantas, ada guru yang tidak setuju, karena akan memperlemah bahasa Arab di Gontor. Maka, beliau usul, minimal 6,0, sehingga, setelah menjadi guru nanti, untuk ditingkatkan pun tidak susah. Setelah masing-masing beradu argumentasi, akhirnya, diperoleh kesepakatan. Yang lain, perdebatan antara Staf KMI dengan Staf Pengasuhan Santri. Pihak KMI mematok, kelayakan menjadi guru ditentukan oleh prestasi belajar serta pengamatannya selama mengajar dan sebagai wali kelas. Namun pihak Pengasuhan Santri memiliki pertimbangan dan hasil pengamatan yang berbeda. Menurut mereka, yang layak diberi kesempatan mengajar di Gontor 1 adalah mereka yang sisi mental, ibadah, dan kedewasaannya bagus, meskipun prestasi belajarnya kurang bagus. Dengan itu, diharapkan, anak tersebut akan lebih bermanfaat jika menjadi guru, yang aktivitasnya bukan hanya mengajar, melainkan juga membimbing santri. Mengingat jumlah siswa kelas 6 cukup banyak (tahun 2010 ini mencapai 997 orang siswa), maka penentuan guru ini memakan waktu yang cukup lama.
Pertimbangan lain klasifikasi pengabdian adalah juga untuk memberi kesempatan, ke mana minat siswa tersebut sebenarnya. Selain menjadi guru, baik di Gontor Pusat, cabang, maupun pondok alumni, ada tempat pengabdian lain, yakni menjadi mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam, mahasiswa Pelatihan Manajemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM) di Ngawi. Atau, bebas pengabdian.

Setelah malam harinya diadakan Resepsi Khataman, pagi harinya dilakukan yudisium tadi. Sejak pukul 06.30, seluruh siswa kelas 6 dikumpulkan di sebelah timur Balai Pertemuan Pondok Modern (BPPM). Tepat pukul 7.00, Direktur KMI membuka yudisium, sekaligus mengawali pemanggilan. Mereka akan dipanggil ke Gedung Saudi Lantai 2 untuk menerima surat keputusan kelulusan dan tempat pengabdian. Pemanggilan itu dilakukan dalam 7 gelombang. Panggilan pertama, untuk mereka yang akan mengabdi di Gontor 1, 2, dan Gontor 3; kedua, yang mengabdi di Gontor 5, 6, 7, 8, 9 10, 11, dan 12. ketiga, calon mahasiswa ISID; keempat, pengabdian di pondok alumni, kelima, mahasiswa PLMPM, keenam, bebas pengabdian; dan terakhir mereka yang belum lulus. Begitu urutan yang berlaku selama hampir dua dekade ini. Dulu, semasa pendiri masih hidup, klasifikasi pemanggilan agak berbeda, baik urutannya maupun jenisnya. Misalnya, Urutan pertama bisa saja untuk mereka yang rasib atau belum lulus. ada pemanggilan khusus bagi yang ber-taqdir mumtaz, pemanggilan khusus santri luar negeri, atau khusus anak-anak dari Ponorogo.

Setelah dipanggil dan menerima surat keputusan, mereka didudukkan dengan rapi dalam ruangan yang di dalamnya telah duduk para Pimpinan Pondok, Ketua-Ketua Lembaga di PMDG. Sementara, di luar ruangan, telah pula hadir para wakil pengasuh pondok cabang, para guru senior, serta wali kelas dan guru-guru siswa kelas 6 tahun itu. Sementara, di bawah, di luar pagar yang dibuat pantia, tekun menanti para wali santri dengan perasaan harap-harap cemas. Tentu saja, pertanyaannya seputar lulus atau tidak serta akan mengabdi di mana anaknya. Mereka sama sekali tidak berani melampaui pagar, sehingga benar-benar menunjukkan betapa berharganya guru Gontor.

Di sini, kembali direktur mengawali pembicaraan. Pertama, menyuruh para peserta yudisium itu membuka amplopnya dengan basmallah dan perlahan-lana, kemudian dipersilakan membacanya dengan cermat, sepenuh hati dan pikiran. Sebagaimana telah puluhan tahun lalu, kata-kata direktur ini pasti akan keluar,

“Perhatikan baik-baik, isi surat itu. Ada yang sama antara satu dengan yang lain, namun juga ada perbedaannya. Yang pasti, anak-anakku ini semua kami anggap lulus dalam ujian. Alhamdu …lillah. Tapi, masing-masing ada perbedaannya, sesuai kemampuan. Ada yang mumtaz, jayyid, jiddan, jayyid, serta ada yang maqbul saja (urutan gradasi kelulusan. Pen). Kesamaan lainnya, anak-anakku semua ini kami beri kesempatan menjadi guru di Gontor, dengan tugas, selain mengajar, menjadi mahasiswa ISID, juga membantu Pimpinan Pondok. Jadi, kami tidak meminta anak-anakku ini menjadi guru, tetapi kami memberi kesempatan. Karena itu, kami akan bertanya kepada masing-masing tentang kesanggupannya. Yang kami tanyakan bukan pendapat orang tuamu atau siapa pun, tetapi pendapat pribadimu, hatimu.”

Selanjutnya, para staf KMI membagikan kertas kosong untuk diisi, sesuai kesanggupannya. Para siswa itu pun menulis kemudian dikumpulkan kembali. Satu per satu, Direktur KMI membaca tulisan tiap-tiap anak. Pada umumnya, mereka menjawab ringkas, “Siap”, atau “Bersedia”, atau sedikit agak panjang, “Kami siap sepenuh hati,” atau “Dengan Bismillah, saya terima kesempatan ini.” Dulu, ada juga yang menjawab tidak siap atau membatasi diri, “Siap tetapi hanya satu tahun.” Kepada mereka yang menjawab seperti ini, baik Direktur maupun Pimpinan Pondok langsung memerintahkan siswa tersebut untuk keluar, dan tentu saja kesempatan menjadi guru itu batal diberikan. Suasana pun tegang.

Kalau boleh berpendapat, itulah kehebatan Gontor yang masih terpelihara dibandingkan lembaga pendidikan lain. Sebab, pernah di sebuah pondok alumni, saat diadakan yidisum semacam itu, mereka yang diberi kesempatan mengajar, umumnya, melengos, acuh tak acuh, dan kyai serta para guru pun tidak berdaya. Mereka melengos karena memang ingin segera sekolah di luar. Kenapa demikian, sebab, begitu lulus, ijazah langsung diberikan kepada siswa. Tidak demikian di Gontor. Seorang alumni tidak boleh meminta ijazah jika belum melakukan pengabdian dan lulus pengabdian, berdasarkan penilaian dari tempatnya mengabdi. Bukan hanya itu, penanaman nilai dan jiwa pesantren di Gontor dilakukan secara konsisten, jujur, tegas. Kyai sebagai sentral figur benar-benar dapat dilihat,dicontoh.

Mengapa ada klasifikasi pemanggilan seperti itu. Inilah kekhasan Gontor dibandingkan dengan lembaga pendidikan pesantren atau lembaga pendidikan umum lainnya. Yang pasti, lain tujuan lain pula nasehat yang harus disampaikan. Pada panggilan awal, biasanya untuk mereka yang akan mengabdi di Pondok Modern Gontor, kecuali isinya yang khas, nasehat itu akan disampaikan dengan keras, tegas, bertenaga, dan lama oleh Pimpinan Pondok. Kadang bisa sampai 1 jam, menambah deg-degan bagi mereka yang belum dipanggil. Setelah membaca surat keputusan, biasanya satu atau dua orang siswa ditanya oleh Direktur atau Pimpinan Pondok, dengan tanpa melihat isi amplop lagi. Mereka disuruh menjelaskan apa yang harus dilakukan setelah menjadi guru nanti. Bagi yang tidak cermat akan menjawab bahwa dia harus mengajar, atau mengajar dan menjadi mahasiswa ISID. Namun, umumnya mereka menjawab dengan benar, yakni mendapat kesempatan menjadi guru, paling tidak selama 1 tahun, dengan tugas mengajar, menjadi mahasiswa, dan membantu Pimpinan Pondok dalam mendidik santri.

Terakhir, kepada mereka kembali dibagikan 2 lembaran ikrar, sumpah, atau dalam bahasa khas: baiat. Baiat itu diawali dengan basmalah, syahadat, dan kemudian ikrar kesiapannya mengabdi. Secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang lulusan, mereka membaca ikrar tersebut dengan suara tegas di depan Pimpinan Pondok dan Direktur KMI. Setelah usai, ikrar tersebut diberi identitas pribadi masing-masing dan ditandatangani oleh yang bersangkutan; selembar dikembalikan kepada pondok, selembar lagi untuk disimpan oleh yang bersangkutan.

Di antara nasehat Pimpinan adalah, bahwa para santri itu, meskipun telah dinyatakan lulus, masih banyak kekurangan. Kemudian ditanyalah mereka, “Benar, tidak, kamu masih banyak kekurangam?”

Kompak, mereka menjawab, “Benar.”

“Apa kekurangan itu? Ilmumu masih kurang apa tidak?’ Pengalamanmu masih kurang apa tidak? Ketrampilanmu masih kurang apa tidak?; Ibadahmu masih kurang apa tidak?

Mereka juga secara serempak menjawab “Kurang.”

Pimpinan melanjutkan,

“Karena itu, kamu semua perlu ditingkatkan, dan peningkatan yang paling baik adalah dengan cara mengajar di Gontor. Sebab, kamilah yang tahu betul kelemahan kamu, bukan orang lain. Ini yang perlu anak-anakku ketahui. Karena itu, terimalah ini dengan ikhlas, sabar, dan sungguh-sungguh.”

Kecuali nasehat agar menjaga harga diri sebagai guru, menjaga jarak dengan siswa, selalu berpakaian rapi, ada hal yang juga selalu dipesankan dan membuat para lulusan itu geli namun juga gembira. Yakni, pesan Direktur atau Pimpinan Pondok,

"Mulai saat ini, atau setelah yudisium nanti, masing-masing harus saling memanggil dengan panggilan al-Ustadz atau Ustadz! Misalnya, Ustadz Hanif, Al-Ustadz Purnomo Hadi, Al-Ustadz Muhammad Ihsan, al-Ustadz Sutikno, dsb. Jangan lagi memangil, Nif, Hanif, atau Hei, Ihsan! Kedua, kalau belum pulang, nanti sore sudah boleh makan atau berbuka di dapur guru. Pengasuhan, mana Pengasuhan? Sampaikan kepada pengurus Dapur Guru, supaya lauk berbuka untuk nanti sore ayam goreng!"

Para lulusan itu pun menyambut gembira dengan senyum tersipu. Sepertinya mereka baru sadar, betapa istimewanya menjadi guru Gontor.

Ritual di dalam ruangan pun usai. Satu per satu, mereka keluar ruangan sambil berjabat tangan dengan Pimpinan Pondok, Direktur KMI, Ketua-ketua lembaga, serta para guru yang hadir. Beberapa Staf KMI menggiring mereka ke sebuah ruangan, guna mengukur baju dan celana yang akan mereka pakai pada bulan Syawwal nanti ―salah satu adat Gontor: guru baru, baju baru―, juga memilih pelajaran yang kiranya minat dan akan mampu diajarkan. Yang kedua ini juga berfungsi untuk pedoman penyusunan jadwal mengajar oleh Staf KMI. Usai sudah rangkaian yudisium siswa kelas 6.

Acara selanjutnya masing-masing lulusan itu menemui orang tua atau keluarganya, untuk mendapatkan ucapan selamat, serta bertanya, “Mengabdi dimana?”

*

Dulu, ketika siswa kelas 6 belum sebanyak sekarang, sebelum meninggalkan pondok, para santri itu berkumpul di depan BPPM untuk sekali lagi melantunkan hymne “Oh Podokku” bersama, melakukan sujud syukur, dan berjabat tangan perpisahan. Suasananya sungguh sangat mengharukan. Masing-masing tidak sekedar berjabat tangan, melainkan berpelukan, erat, sambil meluapkan tangis. Ibarat orang akan mati, mereka saling mengingat dan meminta maaf atas segala kesalahan selama hidup bersama di pondok, ketika sekamar, sekelas, seklub olahraga, atau semasa sama-sama menjadi pengurus di organisasi pelajar, atau pengurus asrama (mudabbir). Semakin dekat pertemanan, semakin erat pelukan serta semakin keras pula tangisan. Waktu 4–6 tahun bukan jangka pendek bagi seseorang dalam usia pendidikan seperti mereka. Teramat banyak pengalaman terserap, diingat, dan membekas selamanya. Itulah barangkali yang membuat kerinduan alumni Gontor kepada almamater dan teman-temannya begitu kuat, berbeda dengan sekolah pada umumnya. Beberapa tahun yang lalu, ada juga acara berziarah ke makam pendiri pondok.

Akhirnya, mereka harus benar-benar pulang; naik ke atas kendaraan masing-masing. Ada yang orang tuanya membawa mobil pribadi, carteran, naik dokar, naik bus dari terminal, juga kereta api dari stasiun Madiun. Bahkan, ada yang orang tuanya sopir angkot datang dengan membawa angkotnya. Allahu Akbar!. Perlahan, kendaraan-kendaraan yang kecil ditumpangi para lulusan itu, keliling pondok. Sekali lagi mereka ingin menengok asrama mereka, kamar-kamar mereka, tempat mandi, tempat jemuran, dapur, masjid, dsb. Itulah tempat-tempat bersejarah bagi mereka. Tempat mereka tidur, beraktivitas, antri mandi, antri makan, dsb. Mulai hari itu, semuanya akan ditinggalkan, entah kapan akan kembali. Saat keliling itu, tentu saja, air mata akan jatuh deras berderai.

Meskipun setahun kemudian, setelah menyelesaikan pengabdian, mereka ke Gontor lagi untuk mengambil ijazah, tentu tidak bersamaan. Bahkan, karena merasakan benar bahwa ilmu yang diberikan Gontor itulah ijazah, banyak yang tidak mengambilnya. Tanpa membawa ijazah pun mereka telah diterima di masyarakatnya, bahkan ditokohkan, dapat membuat jasa, bermanfaat. Ilmunya dapat diamalkan dengan leluasa. Memang, itulah keinginan Gontor. Ijazah bukanlah selembar kertas yang diberikan sekolah kepada alumninya, melainkan aktivitas yang mampu dikerjakan oleh alumninya. Semakin banyak aktivitas yang bermanfaat, semakin banyak ijazah yang diterima alumnus tersebut.
Alasan lain dari ketidakdatangan alumni itu ke Gontor kemungkinan ketiadaan biaya, karena rumahnya jauh, seperti alumni Gontor dari Indonesia timur. Maka, beberapa alumni baru mengambil ijazah setelah puluhan tahun meninggalkan almamaternya. Ijazah itu ada yang untuk syarat mendaftar pekerjaan, melanjutkan studi, atau sebagai kelengkapan syarat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, bupati, dsb.

*

Kendaraan pun keluar pondok bergiliran. Di bawah menara, terpampang tulisan besar, “Selamat jalan, Selamat Berjuang di masyarakat Alumni ….!” Sebuah peringatan yang tepat, agar para alumni itu menyadari perannya di masyarakat, setelah mendapat ilmu dari Gontor, yakni harus berjuang, berjihad.
"Selamat jalan pahlawanku! Ya Allah, lindungilah mereka!" (Alm. K.H. Ahmad Sahal)

Posting Komentar

[blogger]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.