Kisah ini diceritakan oleh Beni Sulastiyo, walisantri Gontor Putri Mantingan Ngawi Jawa Timur
KEMARIN, saya menjenguk anak lagi di Gontor Putri 2, Mantingan. Saya dapat informasi putri saya tertusuk paku. Saya khawatir lukanya parah lalu terancam kena tetanus. Makanya tanpa pikir panjang saya langsung cuss pergi ke Pondok Gontor Putri.
Karena bukan hari libur, suasana Bapenta (ruang tunggu tamu) sangat sepi. Hanya ada dua walisantri yang saya jumpai. Salah satunya Pak Saifuddin yang fotonya saya pajang ini. Gagah kan? Hehee.
Selama beberapa kali mengunjungi Pondok Gontor Putri, saya tak pernah berjumpa dengan beliau. Pertemuan sore kemarin, adalah kali pertama saya berjumpa dengannya. Walaupun demikian, kami cepat akrab.
Pak Saifuddin adalah tipe orang yang senang bercerita. Sementara saya, adalah seorang yang senang mendengarkan orang bercerita. Maka kloplah sudah kami berdua.
Pak Saefuddin adalah seorang walisantri. Anaknya, Nurbainah seangkatan dengan anak saya yang masih duduk di kelas 1 KMN (setara dengan kelas 1 SMP) Gontor Putri 2 Mantingan. Asrama anaknya sama dengan Asrama yang ditempati putri saya.
Pak Udin mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berasal dari Dukuh Lo Bulakamba, Kabupaten Brebes. Jarak tempat tinggal beliau dari Pondok Gontor Mantingan sekitar 300 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bis umum.
Selama anaknya mondok di GP2, ia mengaku telah belasan kali mengunjungi anaknya. Tidak menggunakan bis umum, tapi menggunakan motor roda dua. Pak udin bercerita, kalau ia berangkat dari kampungnya pukul 9 malam, maka ia akan sampai di GP2 sekitar pukul 7 pagi. Selama 10 jam menempuh perjalanan itu, Pak Udin hanya berhenti 3-4 kali. Di tengah perjalanan itu, seringkali Pak Udin menerobos hujan. Tapi ia tak peduli. Ia enggan berhenti walau rintik hujan tajam menerjang.
“Kalau menunggu hujan berhenti, saya tak bakalan sampai. Waktu saya akan habis di perjalanan”, ujar Pak Udin sambil tersenyum.
Semua itu ia lakukan demi anaknya, Nurbainah. Nurbainah adalah putri pertamanya. Anak keduanya juga seorang perempuan. Sekarang masih duduk di kelas 5 SD.
“Saat masih remaja, saya pernah sangat ingin belajar di pesantren. Tapi sayang, ayah saya tak mengijinkan. Saya diminta ayah saya mengurus adik-adik saya serta membantu ayah saya mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Akhirnya saya harus memendam cita-cita saya”, ujarnya.
Pak Udin terpaksa harus mengikuti permintaan ayahnya. Setelah menamatkan sekolah dasar, Pak Udin tak melanjutkan sekolahnya. Ayahnya tak mampu membiayai sekolahnya. Sementara tenaganya sangat diperlukan untuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun, pada saat itu, Pak Udin bernazar bahwa jika nanti ia memiliki anak, maka anaknya harus bisa sekolah di Pesantren. “Tak apalah jika saat ini saya tak tak bisa sekolah di pesantren. Tapi anak saya nanti harus bisa”, begitu cerita Pak Udin mengenang masa mudanya.
Sumber
KEMARIN, saya menjenguk anak lagi di Gontor Putri 2, Mantingan. Saya dapat informasi putri saya tertusuk paku. Saya khawatir lukanya parah lalu terancam kena tetanus. Makanya tanpa pikir panjang saya langsung cuss pergi ke Pondok Gontor Putri.
Karena bukan hari libur, suasana Bapenta (ruang tunggu tamu) sangat sepi. Hanya ada dua walisantri yang saya jumpai. Salah satunya Pak Saifuddin yang fotonya saya pajang ini. Gagah kan? Hehee.
Selama beberapa kali mengunjungi Pondok Gontor Putri, saya tak pernah berjumpa dengan beliau. Pertemuan sore kemarin, adalah kali pertama saya berjumpa dengannya. Walaupun demikian, kami cepat akrab.
Pak Saifuddin adalah tipe orang yang senang bercerita. Sementara saya, adalah seorang yang senang mendengarkan orang bercerita. Maka kloplah sudah kami berdua.
Pak Saefuddin adalah seorang walisantri. Anaknya, Nurbainah seangkatan dengan anak saya yang masih duduk di kelas 1 KMN (setara dengan kelas 1 SMP) Gontor Putri 2 Mantingan. Asrama anaknya sama dengan Asrama yang ditempati putri saya.
Pak Udin mengaku bekerja sebagai kuli bangunan. Ia berasal dari Dukuh Lo Bulakamba, Kabupaten Brebes. Jarak tempat tinggal beliau dari Pondok Gontor Mantingan sekitar 300 Km atau sekitar 10 jam perjalanan dengan menggunakan bis umum.
Selama anaknya mondok di GP2, ia mengaku telah belasan kali mengunjungi anaknya. Tidak menggunakan bis umum, tapi menggunakan motor roda dua. Pak udin bercerita, kalau ia berangkat dari kampungnya pukul 9 malam, maka ia akan sampai di GP2 sekitar pukul 7 pagi. Selama 10 jam menempuh perjalanan itu, Pak Udin hanya berhenti 3-4 kali. Di tengah perjalanan itu, seringkali Pak Udin menerobos hujan. Tapi ia tak peduli. Ia enggan berhenti walau rintik hujan tajam menerjang.
“Kalau menunggu hujan berhenti, saya tak bakalan sampai. Waktu saya akan habis di perjalanan”, ujar Pak Udin sambil tersenyum.
Semua itu ia lakukan demi anaknya, Nurbainah. Nurbainah adalah putri pertamanya. Anak keduanya juga seorang perempuan. Sekarang masih duduk di kelas 5 SD.
“Saat masih remaja, saya pernah sangat ingin belajar di pesantren. Tapi sayang, ayah saya tak mengijinkan. Saya diminta ayah saya mengurus adik-adik saya serta membantu ayah saya mencari nafkah buat menghidupi keluarga. Akhirnya saya harus memendam cita-cita saya”, ujarnya.
Pak Udin terpaksa harus mengikuti permintaan ayahnya. Setelah menamatkan sekolah dasar, Pak Udin tak melanjutkan sekolahnya. Ayahnya tak mampu membiayai sekolahnya. Sementara tenaganya sangat diperlukan untuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Namun, pada saat itu, Pak Udin bernazar bahwa jika nanti ia memiliki anak, maka anaknya harus bisa sekolah di Pesantren. “Tak apalah jika saat ini saya tak tak bisa sekolah di pesantren. Tapi anak saya nanti harus bisa”, begitu cerita Pak Udin mengenang masa mudanya.
Sumber
Posting Komentar