Januari 2019




Tidak seperti banyak lembaga pendidikan besar lain di Indonesia, Pesantren Gontor tidak melayanani pendaftaran online untuk menerima santri baru. Semua proses registrasi; mengisi formulir, pembayaran dan ujian dilakukan secara langsung di pondok.
Untuk mendaftarkan diri calon santri harus melalui setidaknya 8 meja administrasi. Seluruh pos mesti dilalui oleh calon santri dan walinya secara tatap muka dan berurutan, mulai dari pengambilan formulir, pengarahan, pengisian formulir, checking kelengkapan formulir, pencatatan dan pembayaran, penomoran, pembagian asrama, hingga tes kesehatan. Tak ada istilah sistem komputerisasi apalagi online-online-nan!
Setelah melewati pos-pos itu, maka calon santri mendapatkan name tag dengan predikat “CAPEL” singkatan dari calon pelajar.
Nah kalau sudah dapat label capel, calon santri akan mengikuti 2 tes lagi. Tes lisan serta tes tertulis.Waktu yang diperlukan antara proses pendaftaran hingga tes lisan memakan waktu dua hari kurang-lebih.
Sedangkan waktu yang diperlukan dari tes lisan hingga tes tertulis tergantung tanggal berapa calon santri mendaftarkan diri. Lebih awal datang dan mendaftar, maka makin jauh jarak antara ujian lisan dan tulis.
Selama menunggu ujian tulis, capel diwajibkan tinggal di asrama yang telah disiapkan. Selama itu juga akan ada latihan dari santri senior.
Ribet?
Kalau boleh jujur, iya. Bagi manusia perkotaan yang mengaku modern serta mengutamakan efektivitas, proses tersebut sangatlah panjang dan bertele-tele. Bayangkan untuk mendaftarkan anak ke sekolah bertaraf SMP dan SMA, santri dan wali santri harus menunggu berhari-hari.
Bisa dibayangkan energi yang dikeluarkan oleh segenap keluarga yang ingin mendaftarkan anaknya ke Pesantren Modern yang berdiri sejak tahun 1926 ini.
Padahal kalau menggunakan sistem komputerisasi, kedelapan pos yang panjang itu sebenarnya bisa dipadatkan dalam dua pos saja. Satu pos untuk mengisi registrasi, satu pos lagi untuk tes kesehatan.
Dengan sistem komputerisasi, waktu yang diperlukan pun mungkin akan jauh lebih singkat. Paling tidak 2-3 jam sudah kelar. Karena yang berjalan bukan santri, wali santri dan kertas. Tetapi data.
Terlebih kalau menggunakan teknologi internet, tak akan banyak waktu yang terbuang. Khususnya bagi santri yang berasal dari daerah yang jauh dari lokasi Gontor pusat di Ponorogo dan Gontor Putri 1 di Ngawi.
Maka kitapun akan mencibir sistem pendaftaran Pesantren Gontor sebagai sistem yang sangat tidak efisien, kuno, terlalu birokratis, ketinggalan zaman!


Pendaftaran Pesantren Gontor Putri
Orang tua dan capel mengantri untuk mendaftar di Gontor Putri sejak Ramadhan

Heran? Katanya Pondok Modern, komputer aja gak punya.
Ya, saya juga. Sebelum mengenal Ponpes Gontor, pernah membatin saat melihat reklame penunjuk jalan di Ponorogo bertuliskan “Pondok Modern Gontor … KM”. “Belagu banget pakai ‘modern’ segala, pesantren ya pesantren.” Pikir saya itu hanya trik marketing.
Setelah mengamati secara seksama seluruh proses pendaftaran calon mujahid yang melibatkan ratusan santri itu, Anda akan berdecak kagum.
Bayangkan, semua sistem pelayanan mulai dari pintu masuk, parkir, keamanan, pusat informasi, pos pendaftaran, penginapan, hingga pintu keluar, semua dikerjakan oleh santri.
Kalau saat pendaftaran bapak-ibu dilayani pemuda rapi, pakai kemeja panjang, dasi dan jas, sepatu pantopel, rambut cepak, kelihatan dewasa, bahkan sampai terlintas dipikiran, “kayaknya cocok ini dijadikan mantu.”😀 Tidak heran ada yang memanggil mereka dengan sebutan, “Ustadz…”, ketahuilah mereka itu santri. Bukan guru atau ustadz.
Mereka semua ditugaskan untuk mengurus ribuan orang yang datang ke Pondok Gontor putri maupun putra bersama keluarganya. Proses kerja yang diterapkanpun menggunakan sistem yang sangat terorganisir dan sistemik.
Setiap beberapa jam sekali data di meja pendaftaran dilaporkan. Bahkan catatan hadir tamu serta parkir juga ada datanya.
Di luar alur sistem utama pelayanan terdapat pula sub sistem kerja yang menopang, mulai dari trayek yang disediakan di terminal bus Ponorogo, pembimbing capel di setiap asrama, petugas yang menyapu dan menjaga kebersihan kawasan, hingga petugas yang menyediakan tempat jualan makanan. Semua dilakukan oleh santri yang masih remaja setingkat anak SMP dan SMA.
Tak ada satupun orang-orang tua yang melakukan semua pekerjaan itu. Yang lebih menarik lagi para santri itu melakukan pekerjaannya dengan riang gembira dan tulus tanpa dibayar sepeserpun.


Alamat Pendaftaran Gontor Putri Mantingan
Suasana penuhnya Pendaftaran Pesantren Gontor

Dalam istilah manajemen modern apa yang mereka tampakan sangat berorientasi pada service excellent (pelayanan prima). Ramah, murah senyum dan sangat komunikatif.
Dari sini kita melihat para pengelola pondok punya maksud lain dengan menerapkan sistem yang kita ledek tak efisien itu. Para pengelola pondok sepertinya ingin menjadikan sistem penerimaan santri baru ini sebagai media pendidikan.
Mereka diajarkan lewat praktek langsung tentang bagaimana cara mengurus kemaslahatan orang banyak. Langsung lho ya…bukan sebatas teori.
Saya yakin misi itu berhasil.
Dari sini juga Ponpes Gontor ingin mengajarkan dan meyakinkan pada orang tua bahwa anak-anaknya digembleng untuk mandiri, berani, cekatan sebagaimana kakak-kakak kelas yang sedang melayani proses pendaftaran.
Terkadang memang betul bahwa kemajuan teknologi informasi itu dapat mempermudah hidup kita. Namun bagaimanapun juga komputer dan kemajuan teknologi itu ternyata tak mampu mengajari manusia tentang apa itu hidup, kehidupan dan kebijaksanaan.
Benar saja apa yang dikatakan alumni-alumninya bahwa Pondok Modern Gontor itu bukan sekedar tempat menuntut ilmu, tapi ia adalah sekolah kehidupan.
“Ustadz, anak saya sering juara kelas dan lomba waktu sekolah, kenapa setelah di pondok nilainya sering jeblok?” Begitu curhat sebagian wali santri.
Jelas, dulu di sekolah kerjaanya cuma belajar materi sekolah. Kalau di Gontor, dia harus cuci baju sendiri, dihukum karena melanggar bahasa dan disiplin. Sudah pasti waktunya tersita.
Belum lagi wajib pramuka, harus latihan pidato dengan segala materi yang harus dipersiapkan, ada kursus keterampilan, seni, komunitas sains dan klub olahraga yang semuanya itu di luar jam masuk kelas efektif yang dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore.
Semua yang engkau lihat, engkau dengar dan engkau rasakan adalah pendidikan.

"Ada satu poin penting lagi kenapa di Gontor tidak ada pendaftaran online, karena mengantarkan anak ke Pondok Gontor itu harus beserta kain kafannya. Artinya, percaya seutuhnya bahwa putra-putri mereka diajarkan dan diedukasi, bukan diperbudak." (Sumber)



Bagi wali santri khususnya Walsantor, Mudhifah sebenarnya bukan bertamasya dalam arti sekedar mengisi kejenuhan aktifitas. Lebih dari itu mudhifah bagi sebagian berlaku sebagai obat kerinduan yang tidak bisa terwakili. Mudhifah juga bisa sebagai bentuk perjuangan walisantri dalam hubungannya dengan anak2nya. Karena dalam mudhifah juga mesti ada pengorbanan: biaya, waktu dan tenaga. Tapi sungguh semua itu terbayar dengan dapat melihat buah hatinya secara langsung sedang berjihad ilmu.

Tapi sebagaimana pun kadang kesenangan bisa juga melalaikan. Kelalaian disebabkan kelupaan bahwa kita berkunjung di suatu tempat yang sebenarnya memiliki aturan. Yang mana kelalaian ini kadang terjadi tanpa disadari atau keterpaksaan. Mungkin kita salah satu dari itu.

Beberapa kesalahan yg sering nampak disaat walisantri menginap di Bapenta (Penulis mengambil pengalaman di Bapenta G1, tapi mungkin sama dengan Bapenta Cabang) antara lain:

1. Lupa daftar kedatangan ke bagian Penerimaan Tamu saat bermalam di Bapenta

Karena terburu-buru atau lupa kadang walsan lupa mendaftarkan diri di bagian Penerimaan Tamu, padahal ini dimaksudkan untuk ketertiban pendataan dan keamanan. Mudah-mudahan tidak ada yang menganggap remeh dengan proses pendaftaran ini.

2. Tidur tidak pada tempat seharusnya
Pihak Pondok telah menyiapkan Bapenta Baru sebagai cara memuliakan wali santri. Dan Pondok telah mengatur bagian-bagian dimana Ibu2/wanita tidur dan dimana Bapak/laki. Tapi kadang masih kita lihat dalam satu ruangan bercampur pengunjung laki2 dan perempuan.

3. Tidak Sedikit Yang Membuang Sampah Sembarangan
Ini hal yang paling banyak dikeluhkan walisantri yang melihat wali santri lain dengan tanpa rasa bersalah membuang sampah sembarangan, atau memakai fasilitas Bapenta seperti meja atau lantai dengan jorok. Mereka mungkin lupa bahwa di pondok tidak ada petugas cleaning service melainkan santri2 juga.

4. Tidak menjaga Fasilitas Pondok dengan Benar.
Fasilitas yang sering dikeluhkan wali santri lain terhadap beberapa wali santri yang kurang peduli yaitu seperti Kamar mandi. Tidak jarang kita melihat sampah di kamar mandi, atau sisa pembalut, atau pakaian yang tertinggal, atau bahkan kotoran yang belum disiram. Belum lagi sepatu kotor yang kadang mengotori lantai, atau meja makan yang tersisa makanan sisa yang tidak dibuang.

5. Menjemur Pakaian di Pagar
Bapenta sudah menyiapkan sarana wali santri untuk menjemur pakaian dilantai atas gedung Bapenta, tapi tidak jarang kita lihat masih ada yang menjemur pakaian di pagar-pagar lantai 2 dan 3.

6. Memakai Alat Listrik Yang Dilarang
Bapenta menyediakan listrik hanya untuk keperluan seadanya seperi untuk penerangan dan cas alat komunikasi itupun hanya di Bagian Penerimaan Tamu (tapi jangan lupa ngencleng ya 😀), tapi masih ada yang memakai alat yang mengkonsumsi daya listrik yang besar, seperti water heater, rice cooker dan lain-lain. Padahal wali santri tidak dibebankan biaya penginapan.

7. Tidak membayar sewa Kasur.
Mungkin Walsan lupa atau tidak tahu bahwa kasur lipat yang ada di Bapenta itu didapat dengan cara disewa. Mungkin ini salah satu sumber biaya perawatan Bapenta. Jadi yang baru tahu atau lupa hayo mulai berikutnya bayar! 😁

8. Menahan Anak Terlalu Lama di Bapenta
Ini biasanya tidak terjadi pada santri2 lama karena biasanya santrinya yang sering minta buru-buru. Beberapa terjadi pada santri baru, yang kadang santrinya atau orangtuanya masih belum puas melepas rindu.

9. Berlama-lama Menginap di Bapenta
Ada yang pindah kost an ke Bapenta? 😁. Walau gratis dengan berbagai fasilitas tapi terlalu lama menginap di Bapenta juga menjadi tidak bijak, baik bagi walsan lain maupun bahkan bagi kebaikan studi anaknya sendiri. Pondok menganjurkan paling cepat 3 bulan sekali dan lama berkunjung katanya idealnya paling lama 3 hari.

Demikian yang teringat dan tercatat yang bisa disampaikan, mungkin ada yang kurang tepat atau ada poin yang belum tercatat, dengan senang hati menerima masukan.


Update postingan: Tambahan Poin
Setelah diluncurkan ternyata ada beberapa hal tambahan yang disampaikan beberapa wali santri, sebuah koreksi buat kita sendiri sebagai bukti bakti kepada Gontor

1. Menguasai atau Mematok Meja Kantin untuk dirinya walau tidak Membeli Makanan di Kantin.
Di Bapenta memang ada kantin untuk memfasitasi kebutuhan penganan tamu-tamunya. Disana juga disediakan meja-meja untuk mereka menyantap makanan. Mungkin meja-meja itu memang diperuntukkan bagi konsumen kantin, tapi biasanya meja sudah full dibooking walsan, walau dengan membeli makanan dari luar.

2. Gazebo Jadi Markas 😁
Saya sebenarnya kurang pasti apakah ini suatu kesalahan, karena memang Gazebo diperuntukan untuk para tamu. Tapi yang menjadi keluhan beberapa wali santri, yang menempati Gazebo kadang kurang memelihara keindahan terutama pandangan, seperti menjemur baju, makanan atau bekas makanan yang tertinggal atau ditinggalkan.

 
Jariku menunjuk nama demi nama di papan pengumuman. Aku sangat berharap namaku ada diantara  siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup kencang dan keringat dingin membasahi sela-sela jari. Jari ini bergerak dari satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama. Ghazi Muhammad Al-Fatih. “Alhamdulillah ya Allah aku diterima” ucapku dengan rasa syukur yang tak terkira. Aku diterima di SMA Internasional yang tersohor di Jakarta dengan jalur beasiswa.
            Angkot yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini, keringat ibu-ibu yang pulang dari pasarpun tercium wangi. Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah dan mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu. Baru kali ini aku dapat membuat mereka bangga. Tentunya dengan beasiswa yang kuterima ini, Ayah tak harus memikirkan beban biaya sekolahku nanti.
***
            “Kenapa tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak mengizinkanku bersekolah di SMA Internasional.
            “Ayah ingin kamu tetap bersekolah di Pondok Pesanten?” ujar Ayah dengan menepuk-nepuk pundakku.
            “Tapi Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya sekolahku lagi” kataku dengan sedikit memaksa.
            “Anakku, dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini kerjanya serabutan, kadang bekerja kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di pondok pesantren” ujar ayah meyakinkanku.
            “Dari mana uangnya? Saat ini biaya di pondok pesanten sangat mahal!”
            “Dari Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah. Jawaban Ayah tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan ucapan beliau. Aku hanya tak ingin menjadi beban beliau. Kini beliau sudah mulai menua, uban putih sudah memenuhi kepalanya, sepertinya ia sudah tak kuat untuk mencangkul lebih lama lagi. “Ya Allah, luluhkanlah hati Ayahku?” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan menciumku sangat lama.
            “Fatih, Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak” kata Ibu dengan suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa.
            “Fatih, apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku
            “Iya Bu, Fatih mendengarnya. Baiklah Bu, Fatih akan menuruti perkataan Ayah. Fatih akan meneruskan ke Pondok Pesantren” akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang diri.
            “Ya Allah, semoga melepas beasiswa di SMA Internasional merupakan keputusan yang benar, dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”.
***
            Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pondok pesanten ini. Aku kebingungan, mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi di pesantren. Tembok itu terasa sangat dingin padaku. Semakin kupandang semakin membuatku merasa kecil dan asing. “Ya..Allah, mudahkan aku dalam menuntut ilmu” bisikku sembari mencari tempat istirahat.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di masjid ”kataku sambil membuka sepatu. Kemudian terlihat seseorang laki-laki berjenggot mendekatiku.
“Akhi, antum santri baru ya? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Oh..iya mas. Saya Ghazi Muhammad Al-Fatih mas, panggil aja Fatih”
“Aku Irsyad. Satu tahun diatasmu. Semoga nanti betah di pesantren”
“Iya mas, amin. Permisi mas, mau ambil wudhu dulu”
“Oh…iya silahkan”
Akupun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjamaah. Seusai sholat tak lupa aku memanjatkan doa untuk kedua orang tuaku. Entah kenapa baru sehari saja meninggalkan rumah aku sudah ingin segera kembali. Saat itu aku teringat pesan Ayah ketika aku hendak berangkat ke Pesantren.”Fatih, jaga dirimu baik-baik di pesantren. Hafalkan Al-Quran. Nak. Ayah ingin melihat kamu menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang pula wajah teduh Ibu yang sangat menyayangiku.”Anakku,Ibu mencintaimu karena Allah” .
***
Setelah satu bulan di pondok pesantren…
            Awal hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba
“Sudah hafal berapa juz dik?” kata mas Rasyid padaku.
“Waduh mas, masih sedikit. Masih tiga juz mas” kataku nyengir.
 “Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi Dek, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar mas Rasyid menambahi perkataanya.
“Sudah mas, sudah saya setor ke Ustadz. Beres lahh…”
“Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Fatih! Begini, maksud kakak, cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar mas Rasyid sembari meninggalkanku.
“Oo begitu…baikklah mas, akan Fatih coba. Sukran Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu.
Akupun mencoba saran dari Mas Rasyid untuk menggunakan hafalan dalam shalat sunnahku. Subhanallah, ternyata yang tadinya hafal menjadi terbata-bata ketika digunakan saat shalat.
***
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon.
“Alhamdulillah nak, semua sehat. Fatih, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi uang yang cukup buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi akan Ibu kirim uangnya” ujar Ibu.
“Iya Bu, tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu mecemaskanku.
“Bagaimana hafalanmu Nak? Sudah dapat berapa juz?”
“Sudah lima juz Bu”
“Semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat mendoakanmu dari jauh. Tadi ayahmu titip pesan Nak, meskipun dalam kesempitan jalan lupa bershodaqoh. Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamualaikum..”
Waalaikumsalam...”
            Rasa rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan lebih aku dipondok, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang sepeserpun di kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak terlupa, uang untuk shadaqoh segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak orang lain di dalam uang yang kita miliki. “Aku lelah sekali! “kataku sembari merebahkan badanku ke dipan dan berharap agar segera bisa tertidur.
            Malampun berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan burung pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan berkumandang, segera aku selesaikan makan sahurku. “Ya Allah, aku berniat berpuasa daud. Kuatkanlah tubuhku hinga sore hari. Amin. Saat uang menipis, biasanya aku menjadi sangat rajin untuk berpuasa. Semoga itu tak mengurangi ensensi puasa” gumamku dalam hati.
            Dengan semangat berjuang untuk mencari Ilmu Agama kulangkahkan kaki menuju gedung madrasah. Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan santri berduyun-duyun menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di depan papan pengumuman. Dalam pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan seleksi pertukaran pelajar ke Mesir. “Aku harus ikut!” kataku sambil menulis persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi. Saat itu pula aku segera berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin dan mohon doa pada kedua orang tuaku.
***
            “Fatih, bagaimana hasilnya?” tanya Ayah padaku.”
            “Aku lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih”
            “Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya Fatih. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak, kamu lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu” ujar Ayah padaku.
“Iya, Fatih mengerti”
 “Oh iya Nak, Ibumu seminggu ini tak henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun untuk shalat tahajud.
“Sampaikan terimaksih Fatih pada Ibu” kataku pelan sambil berusaha menahan air mata.
“Fatih, mengapa suaramu terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan nak?” tanya Ayah kepadaku.
“Ayah, ada biaya administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat saja ke Mesir. Biayanya mahal…”
“Berapa nak?”
“12 juta”
“Berangkat saja! Sudah nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus. Karena Allah telah memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di Mesir, tentunya Allah pula yang akan membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah itu pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh dengan keyakinan pada Allah.
 “Terimakasih Ayah…”
***
Saat ini aku berada dalam pesawat terbang menuju Mesir. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia karena orang tuaku  memiliki rasa cinta pada Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke Mesir bukan berasal dari kantong Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah dan ustadz-ustadz di daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk memudahkan orang yang menuntut ilmu agama. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup. Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada  kehidupanmu ….”Allahu Akbar…!!”  (Sumber)
-------------Bersambung---------------



WTDI? Apa itu? Hehehe maaf lagi seneng buat singkatan 🙏😁. WTDI itu singkatan What To Do If, sebuah ungkapan pertanyaan akan sebuah solusi masalah komplit dengan juklak, juknisnya. Kadang ada saat kita membutuhkan solusi suatu masalah, kalo kita mencari banyak referensi kadang tidak spesifik. Mudah-mudahan ini bisa jadi salah satu jalan referensi yang spesifik.

Yang pasti pertanyaan-pertanyaan yang muncul disekitaran masalah pondok dan wali santri. Begitu juga solusi-solusinya adalah bersumber dari seputaran praktisi pondok (Kiai, para ustadz atau pengalaman wali santri)

Pertanyaan-pertanyaan ini dihimpun dari beberapa forum, atau juga pengalaman pribadi. Dan jawaban-jawaban solutifnya juga didapat dari ngubek-ngubek artikel dan juga info-info dari walsan, juga sedikit pengalaman pribadi.

Part 1 dari WTDI ini yaitu: Apa yang harus dilakukan jika ingim memasukkan anak ke pondok

Walsan senior ga boleh protes! Anak saya kan sudah di pondok! 😁🙏. Karena diluar sana masih banyak calon-calon walsan lain. Lebih banyak dr calon presiden, oops 🤭.

Saat memiliki anak usia SD, orangtua biasanya sudah mempunyai rencana ingin memasukkan anaknya kemana jika sudah lulus. Ada yang berteori katanya hormati pilihan anak kemana dia mau melanjutkan sekolahnya. Alasannya biar anak enjoy sekolahnya, dan juga melatih anak membuat keputusan. Sepertinya keren ya 😀. Tapi akal yang dikaruniakan Allah kepada kita melihat teori ini sepertinya ada sesuatu yang ganjil. Anak lulusan SD, belum punya pengalaman, ilmu terbatas disuruh membuat keputusan langkah awal jalan hidupnya? Hmmm

Di sisi lain, ada orangtua mempunyai pemikiran idealis terhadap pendidikan lanjutan anaknya, kemudian memaksa anak tersebut untuk ikut pilihan orangtuanya. Hmm ini juga sepertinya bakal jadi masalah. Terus bagaimana?

Memahami Fungsi dan Posisi Orangtua terhadap Anak
Menjawab pertanyaan diatas, kita harus kembali memahami fungsi kesadaran kita sebagai orangtua terhadap anak. Dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan hal dasar yang harus dipahami orang tua:
1. Orangtua bukan "pemilik" anak
2. Orangtua hanya "ketitipan" amanat (berupa anak)

Dua fungsi kesadaran ini (kalau dijabarkan bisa satu bab buku 😅) insya Allah akan menjadi frame kita dalam mendidik anak.

Action!
Gagal merencana maka sama dengan merencanakan kegagalan. Istilah yang sering kita dengar dalam talk show atau seminar motivasi. Ada benarnya juga. Tidak merencanakan dari awal akan memasukkan anak ke pondok sama seperti dengan memasukkan anak ke tempat yang asing, kalau seandainya anak dinaungi  hidayah insya Allah anak selamat, tapi kalo tidak malah akan menjadi masalah buat anak dan yang paling ditakutkan menjadi masalah bagi santri-santri lain bahkan bagi pondok!! (Pasti keingetan yang suka mencuri atau suka main pukul dll yang dipondok kan? Bisa jadi itu karena ini)

Pengalaman walsan, saat anak pertama lulus TK dan masuk SD mereka sudah berencana anak akan dimasukkan ke SMP Favorit setelah lulus. Perjalan waktu melihat kualitas pendidikan agama yang minim di sekolah umum, pada saat anak kelas 3 mereka mulai mencari info-info pesantren unggulan. Ada beberapa alternatif tapi sang istri mentok di Gontor!! Harus Gontor katanya 😁. Sedang sang suami saat itu ingin pesantren-pesantren yang dekat aja. Tapi berhubung suaminya istrinya (😏) itu baik (😁) akhirnya disepakati Gontor!!. Maka mereka cari info. mereka diskusikan dengan anak. mereka kasih lihat video-video tentang Gontor. Alhamdulillah saat itu dibantu dengan boomingnya buku dan dilanjutkan filmnya Negeri Lima Menara. Anak mulai tertarik. (Kena lho! 😁). Yang terasa oleh mereka , anak saat sudah masuk tidak rewel. Bahkan mereka paling hanya 3-5 hari saja menemani diawal masuk, selanjutnya anak bisa menikmati dan enjoy (tapi giliran kami di rumah banjir kerinduan huaaa 😭😭😭). Tapi inilah pengorbanan. Kata Kiai lebih baik nangis diawal daripada belakangan. Kemudian karena anak yang tertua enjoy di pondok, maka adik-adiknya pun punya keinginan seperti Aanya. Malah saat kami candai dengan menyuruh daftar ke sekolah lain adiknya malah nangis. 😁

Kesimpulan
Anak itu katanya seperti layangan, kita buat dari bahan yang bagus, tali yang kuat maka jika diterbangkan akan tinggi dan bisa diatur. Kalau kertasnya jelek maka akan gampang robek ditiup angin. Jika taliny lemah baru kita arahkan dikit maka akan putus.

Jadi jika kita sadar dititipi sesuatu oleh Sesuatu yang Maha Besar, Maha Kuasa maka pasti kita akan menjaga mati-matian amanat yang diberikan. Cari ilmu perkembangan psikologi anak, cara memahami anak, pola pengasuhan dll. Dan yang aman adalah pola pengasuhan sesuai Tuntunan Agama dengan teladan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam, dan orang-orang sholeh yang meneladani Beliau.

Demikian, saran, kritik, tambahan sangat dibutuhkan. (riM)

Januari 22, 2019 ,
 
1. Lagu hymne ditutup dg kata IBUKU....
Pondok adalah ibu, dan ibu tdk akan melepaskan anaknya, meskipun anaknya sdh jd presiden, ibu akan tetap menasehati anaknya. Dan anak jg akan selalu minta nasehat ibunya.
Sementara bapakmu adalah gurumu, walikelas, aktivitas, organisasimu dll.
Apa yg dikerjakan bpk dan ibu ada di pondok.
2. Dr kandungan yg sama akan lahir anak2 yg berbeda.
Gontor dituduh bkn aswaja, wahabi, dll.
Gontor itu aswaja, aswaja yg cerdas!
3. Dg sering kumpul, akan muncul ide gagasan. Di jawa ada kata 'cangkir' pd saat berkumpul. Cangkir = nyencang pikir. Sering bertemu akan bnyak nyencang fikir.
4. Jangan mudah silau, 'Laisa kullu ma yalmau dzahaban.' Blm tentu rumput tetangga lbh hijau. Kita sdh diajarkan pondok (bpk ibumu) ttg hal itu.
5. Dtg ke pondok tdk hanya utk ngecash, tp utk membaca raport kita. Ttg keikhlasan kita, kesederhanaan dll.
Apakah kita sdh menerapkan keikhlasan yg tlh diajarkan gontor dlm kehidupan nyata? Bgmn dg sederhanaan kita? Baca!
Juga membaca raport pondok. Adakah nilai2 gontor yg berubah. (Gontor insyaAllah akan ttp istiqamah dlm menjaga nilai2).
6. Gontor tdk takjub dg berbagai profesi alumninya, tp akan takjub dg keistiqomahan menjalani profesi tsb berdasarkan pd nilai2 yg tlh diajarkan pondok. (Komitmen thd nilai2.)
Inna fi kholqi samawati wal ardl...
Itu cerminmu, apakah kalian sdh yadzkurullaha qiyaman wa quudan wa'ala junubikum atau blm?
Bercerminlah dr berbagai arah.
Nilai2 utk bercermin.
7. Gontor tlh memberikan kunci.
Bhs arab kita kalah dg lipia, inggris kalah dg sekolah umum.
Tp anak gontor bisa menggunakan kunci tsb dg baik (yahanu).
8. Dunia semakin luas, sementara buminya tdk semakin luas. Jika kita tdk mengembangkan kunci2 tsb kita akan semakin tersingkir.
Punya kunci tp tdk dipakai.
[19:40, 21/02/2015] Bisri Muhammad: 9. Jaman skrg bnyk org yg keblinger. Org2 melakukan istighosah ktk gang doly mau ditutup. La haula wala quwata illa billah.
10. Gontor bukan lembaga pergerakan, tp lembaga pendidikan.
Gontor mendidik anak2 yg akan mendidik presiden, menteri, jendral. Dll.
11. Gontor mendididik santri dg cara: muamalah (sosial/kehidupan bermasyarakt), muasyaroh (kekeluargaan) mukholatoh (pembauran).
Gontor menghadapi yatim lbh dr 4000 (krn tdk ada ortunya).
Maka Santri2 dikerumuni, dikeloni slm 24 jam.
12. Bnyk yg ingin meniru spt gontor, tp yg dilihat hanya kulitnya sj, tdk nilai2 dan jiwa yg ada di dlmnya. (Yg ditiru hny bhs arab inggrisnya, pengelolaan asrama).
13. Jadilah kalian Mundzirul kaum sesuai dg profesinya masing2.
14. Apa yg kami lakukan skrg adalah warisan yg lalu, yg tlh dirintis oleh trimurti. Tdk ada yg keluar dr nilai2.
15. Pak hasan dlm bnyk pertemuan srg membacakan piagam wakaf pm gontor. Agar semua tahu apa yg diwasiatkan oleh trimurti.
16. Jika kita mengatakan saat ini blm waktunya menegakkan nilai2 islam? Kira2 anak cucu kita nanti pasti akan mengatakan hal yg sama. Yaitu Blm waktunya.
Kalau tdk skrg kapan lagi, kalau tdk kita siapa lagi.
Bung Karno kl tdk dipaksa utk proklamasi oleh para pemuda waktu itu maka kemerdekaan akan tertunda.
Jika pingin kawin jgn nunggu punya kasur yg mentul2.
Inilah pola yg dipakai oleh gontor? Penuh kesakralan.
Pondok ini anti intervensi. Buka mata, telinga, hati, otak luas2. Tutup mulut.!
Blm melihat, mendengar, tp maunya nerocos terus. (Krn didorong tendensi)
4H (head, heart, hand, hidayah).
Nasehat pak sahal kpd santri lama.
"Kunjungilah pondokmu walaupun aku sdh tdk ada"..!!"

Kerumunan Walisantri saat nengok anak di Gontor (Sumber foto:google.com)

Saat ini menyekolahkan anak ke Pondok bukan lagi suatu yang jarang kita temukan. Bahkan cenderung kita lihat perkembangan kuantitas dan kualitas dan menyentuh pada  semua tingkat sosial, dari anak petani hingga pejabat, dari anak RT hingga ponakan Wakil Presiden, dari Tukang Ojek hingga pemilik ratusan armada transportasi, bahkan dari anak preman hingga anak Kiai.
Ini adalah sesuatu yang menggembirakan.

Tapi sadarkah kita ketika sudah memasukkan anak ke pondok ternyaya ada pula beberapa perubahan pada kita, para walisantri baik pada sikap dan kebiasaan. Perubahan-perubahan apa sajakah itu? Penulis menemukan beberapa dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.

1. Doa buat anak lebih intensif.
Memasukkan anak ke Gontor adalah "sesuatu". Gontor yang terkenal disiplin tanpa kompromi, beban pelajaran yang menumpuk dll tidak jarang membuat walisantri harap-harap cemas, ada yang mengistilahkan sport jantung  sehingga walisantri mengintensifkan doa-doanya buat anak tercinta. Berharap anaknya dilindungi Allah dan diberi kemudahan dan kelancaran dalam studinya.

foto Google

2. Teringat Anak saat makan
Saat makan sering teringat dengan Sang buah hati. Apalagi saat makan enak, rasa menjadi hambar saat terfikir anaknya makan sederhana di pondok. Tidak jarang beberapa walisantri menunda makan enaknya, menunggu hingga saat liburan sang anak.

3. Cari Grup WA atau FB Walisantri
Sibuk mencari grup-grup walisantri baik di Facebook atau WA. Jika bertemu dengan sesama walsan sering bertanya apakah ada grup per kelas anaknya, atau perdaerah atau per konsulat dll

4. Jadi "Kepo"
Berhubungan dengan nomor 3, wali  santri haus akan informasi tentang pondok terutama anaknya. Berusaha mengintip-intip grup WA siapa tau anaknya kena _candid camera_. Dan jika melihat anaknya terfoto kebahagiaannya jangan ditanya  terutama buat Emak-emak.

5. Rutin jadi turis lokal
Bakal sering ke luar kota dibanding saat sebelum menitipkan anak ke pondok. Bakal sering cek harga tiket. Pada beberapa walisantri bahkan intensitasnya bisa perbulan atau beberapa kali dalam sebulan. Walau sebenarnya pondok menyarankan anak dikunjungi paling banyak 3 bulan sekali.

6. Wanted Phone Ring Syndrome
Selalu berharap telepon yang berbunyi dari buah hatinya dipondok. Bahkan bisa membuat uring-uringan orangtua terutama Bundanya saat lama tidak mendapat kabar.

7. Pengeluaran meningkat
Pengeluaran menjadi lebih besar untuk keperluan sang buah hati, terutama saat menengok anak, mulai dari ongkos, penginapan, dan makan anak sekaligus traktir temannya 

8. Cari penghasilan tambahan
Sehubungan dengan nomor 7, orangtua jadi lebih semangat menambah dan mencari sumber penghasilan tambahan agar studi anak tidak terhambat. Contohnya: yang nulis ini nyambi jadi blogger 😁

9. My Mudhif My Adventure
Siap-siap menjadi "pecinta alam" dadakan Jadi harus siap terbiasa tidur beralas kasur tipis, tanpa selimut bahkan disaat musim kunjungan banyak walisantri tidur di tempat terbuka memaksakan bersahabat dengan angin malam dan dingin.

10. Jadi lebih sholeh (maksakandiri. com 😁)
Memasukkan anak ke Pondok menginspirasi orangtua juga untuk lebih mendalami ilmu agama. Suatu jalan kebaikan yang Allah anugrahkan saat menunjukkan anak belajar agama 😇.

11. Mendadak Sastrawan, mendadak filosofis 😀
Tidak sedikit walisantri jadi tiba-tiba suka menulis, minimal menulis curhatan, atau bahkan menjadi Filosof dengan untaian kalimat-kalimat bijak. 😁

12. Sang Ayah jadi melankolis
Tidak sedikit seorang ayah menjadi melankolis 😁, meneteskan air mata saat rindu sang anak. Ada cerita, saat anak berangkat lagi ke pondok sehabis liburan, sang ayah sepanjang jalan ketempat pemberangkatan gencar menasehati anak harus kuat, jangan  nangis kalo ingat rumah dll. Sang anak semangat, tp pas anak sudah brngkat, sepanjang jalan di motor mata sang ayah tidak berhenti tergenang, bahkan menetes. 😊

Demikianlah, mungkin masih ada yang lain tapi saat ini hanya ini yang teringat. Mudah-mudahan menambah semangat kita untuk menjadi walisantri yang dibanggakan oleh anak-anaknya. Aamiin (RiM, pagi yang rintik di Sukabumi)



Di tempat mana saat kita merasa waktu berjalan cepat dan disaat yang sama terasa berjalan begitu lambat? Di pesantren, especially di Gontor. Kembali saya tuliskan kisah sang anak.

Umumnya jika kita tidak merasakan kenyamanan pada suatu tempat atau suatu momen, waktu terasa begitu lama bergulir. Serasa hati ingin segera memerintahkan waktu agar cepat bergerak atau memaksa diri agar segera meninggalkan tempat itu. Ketidaknyaman ini memaksa sel-sel kelabu dalam kepala kita melihat segala sesuatu di momen dan tempat itu terasa membosankan.
Sebaliknya, jika kita merasakan suatu kenyamanan atau kebahagiaan di suatu momen atau tempat, waktu serasa enggan berlama-lama dengan kita. Waktu seolah-olah bergerak cepat, seperti anak kecil yang lincah bermain, baru tampak sebentar kemudian sudah hilang lagi. Dan otak kita pun memandang segala sesuatu sebagai pelipur hati, nutrisi kebahagiaan.

Pandangan tentang waktu diatas tidak sepenuhnya berlaku di Gontor, walau bisa jadi berlaku pada sebagian.

Suatu ketika saat anak menelepon pertama setelah liburan dan kembali ke pondok, saya sampaikan, "Semangat ya Nak, kita kumpul lagi sekitar lima bulan lagi". Dia menjawab, "Tenang Yah, 5 bulan mah ga lama, disini waktu terasa cepat". Gak lama??! Di sini kami merasakan sebaliknya, Seminggu kau tak telepon, Bundamu uring-uringan seakan-akan berbulan-bulan tidak ada kabar, ayahmu juga yang ketempuhan gelisahnya Bundamu!, begitu lompatan perasaan yang terungkap di hati saat itu. Tapi ya tidak terucap. Yang terucap di ujung mike telepon: "Ya Nak, semangat terus!". Bah, padahal kami disini yang seharusnya disemangati 😁.

Begitulah anak Gontor. Waktu terasa cepat bukan sepenuhnya karena kenyamanan. Siapa yang berani mengatakan disiplin ketat, makan antri, sederet hukuman, pelajaran menumpuk, belum lagi bentakan, sendal atau sepatu, atau bahkan uang hilang, ngambil kiriman juga antri, kadang ga sempat makan, mandi antri, buang air antri, ga bisa main hape, ga boleh bebas jalan-jalan, setumpuk tanggungjawab dkk, dll, dsb adalah suatu kenyamanan?? Dimana-mana itu bisa dikategorikan suatu misery, sebuah ketidaknyamanan bahkan bisa jadi kesengsaraan bagi sebagian.

Tapi di Pondok beda. Ternyata kuncinya, dari apa yang saya lihat, sistem pendidikan di Gontor berhasil merubah paradigma. Waktu akan terasa lama kalau kita diam, maka di Gontor bergerak adalah kewajiban. Santri diarahkan agar segala sesuatunya dilaksanakan dengan gesit. Diam adalah aib dan akan tertinggal bahkan tertindas. Coba kita perhatikan dinamika santri setiap hari, jarang sekali yang berjalan santai, telat antri makan bisa jadi tidak kebagian, telat antri ke kamar mandi siap-siap akrab dengan bau keringat, dll. Sederet jadwal diatur agar tidak ada kesempatan bagi melamun,berfantasi kosong. Dan jika santri tidak mengikuti alur ini, siap-siap waktu menjadi hantu, terasa lama dan menjadi ketidaknyamanan.

Dan anak-anak kita dididik dalam sistem itu. Masya Allah, Alhamdulillah. Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka mengagung-agungkan Gontor tapi semata-mata karena ingin mengabarkan suatu nikmat, fa amma bi ni'mati robbika fahaddist. (RiM)

Januari 18, 2019 ,
Awas nyontek
Ada berbagai cara untuk menyontek. Kadang cara  mencontek saat ini sudah semakin "canggih". Sebuah program dalam acara televisi ditelusuri tentang kecurangan  dalam ujian nasional di pelbagai daerah. Ditemukan modus yang bermacam-macam.
 
Ada yang dengan cara membagikan pinsil yang sudah diselimuti selembar kertas contekan. Ada juga juga yang terang-terangan membagikan satu lembar contekan ke siswa, lalu menggilirnya ke siswa lain. Bahkan yang lebih parah, ada yang membacakan jawaban dan siswa tinggal menyalinnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Alasannya pasti klise, agar marwah sekolah tetap terjaga. Jika banyak siswa yang tidak lulus, pasti sekolah juga yang kena getahnya. Tak akan ada lagi orangtua yang sudi menitipkan anaknya ke sekolah tersebut. Maka, dibuatlah persekutuan busuk tadi untuk mendongkrak nilai siswa.

Sebenarnya apakah tujuan ujian? Sejauh yang saya pahami, ujian bertujuan untuk mengukur apakah siswa sudah menguasai pelajaran yang diberikan selama periode waktu tertentu. Karena itu, ujian memang bersifat me-recall memori yang lalu. Tidak ada dalam ujian pertanyaan dari pelajaran yang belum diujikan.

Yang jadi masalah dalam Ujian Nasional adalah penyeragaman. Sebagaimana diketahui, siswa di seluruh Indonesia sangat beragam. Ada yang sekolahnya mahal sekali dan sudah dilengkapi fasilitas canggih, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang memprihatinkan karena ruang kelasnya seperti kandang sapi. Sementara, standar kelulusan diseragamkan. Soal yang dipakai didrop dari Jakarta. Padahal, guru kelaslah yang tahu bagaimana kapasitas siswanya, apa yang sudah dipelajari dan apa yang belum.

Saat saya “sekolah” di Gontor dulu, ujian dinantikan sebagai peristiwa luar biasa. Pada papan pengumuman di bawah mesjid, tertulis seperti ini dalam bahasa Arab atau Inggris: “Ujian akan tiba 30 hari lagi”. Setiap hari jumlah hari diupdate laksana count down American Top 40. Benar-benar seperti peristiwa sakral.

Dua minggu menjelang ujian, semua kegiatan ekskul seperti olahraga, kesenian dan keterampilan dihentikan. Semua energi dihimpun untuk menyukseskan ujian. Setiap malam, para guru berkeliling asrama laksana dokter yang sedang praktek. Setiap santri boleh bertanya semua pelajaran yang kurang dipahaminya.

Setiap malam, setelah listrik dimatikan (dulu masih pakai genset), kita dapat melihat suasana pondok seperti dirubungi kunang-kunang. Apa pasal? Banyak santri yang begadang dan menyalakan lampu teplok atau sentir sebagai pendukungnya. Mereka belajar hingga pagi, ditemani sekadar kopi dan kacang garing. Mie instant cukup dibuat dengan cara menyiram air panas ke bungkusnya (dulu belum ada popmie). Setelah itu bungkusan diikat dengan karet. Tiga menit kemudian, siaplah mie untuk disantap.

Ujian di Gontor ada dua, yakni ujian lisan dan tulisan. Ujian lisan biasanya berlangsung selama sekitar tiga hari sampai seminggu. Setiap santri berhadapan dengan dua atau tiga orang penguji dan harus menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris dan Arab untuk beberapa pelajaran utama. Sesi ujian lisan ini sering membuat santri sakit perut karena dicecar pertanyaan laksana sidang pengadilan. Sambil menunggu giliran ujian lisan, santri dapat mengulang pelajaran lainnya.

Pada ujian tulisan, yang cukup unik di Gontor adalah peraturannya yang sangat keras, yaitu “Barangsiapa ketangkap basah mencontek, maka ganjarannya adalah dipulangkan ke orangtua”. Di ruang ujian, siswa dari beberapa kelas digabung sehingga teman sebangku biasanya bukan teman sekelas, sehingga kemungkinan mencontek dari teman sebelah bisa diminimalisir.

Yang juga unik adalah tidak ada ujian bersistem muliple choice. Semua soal dalam bentuk essay, laksana anak kuliahan. Hal ini secara tidak langsung juga menutup kemungkinan untuk saling mencontek karena alangkah sulitnya mencontek banyak tulisan, bukan sekadar jawaban a, b, c atau d. Biasanya jumlah soal tidak terlalu banyak, sekitar 5 hingga 10 soal.

Ada kejadian menarik tentang ujian ini. Menjelang minggu tenang, saya biasanya belajar dengan menuliskan kembali beberapa kata kunci. Di Gontor kebetulan banyak pelajaran berbentuk hapalan, terutama yang berbahasa Arab. Saya biasa menuliskan hapalan saya di papan tulis saat kelas kosong.
Lama-lama saya berpikir, kenapa tidak menuliskan di buku tulis. Maka, saya mulai menuliskan ringkasan pelajaran di lembaran kecil kertas yang ukurannya sekitar seperempat dari buku tulis. Hurufnya saya tulis kecil-kecil sehingga dapat dibawa kemanapun saya pergi: sambil makan, sambil jajan, maupun sambil ngobrol. Saat ada waktu luang, saya membukanya, mungkin seperti orang sekarang yang sedang update status di facebook. Kata kunci tadi dapat mengingatkan saya konsep atau pengertian sebuah teori.

Eh, tidak dinyana, ada teman yang melihat ringkasan (khulasoh) ini cukup bermanfaat. Akhirnya dia mengkopinya dari saya. Tak lama, teman-teman lain ikut menggandakannya. Menurut kabar yang saya dengar, teman saya tadi akhirnya menjual ringkasan tadi ke seluruh santri setelah menggandakannya dengan cara foto copy. Rupanya ada yang melaporkan hal ini kepada Ustadz Pengasuhan. Akibatnya dia dipanggil dan disidang. Akhirnya dia dibotak. Kurang jelas apa salah dia. Bukankah dia hanya ingin menolong teman-teman lain?

Sebagian teman meniganalisa kalau guru Ustadz Pengasuhan melihat bahwa ringkasan tadi kurang mendidik karena santri akhirnya malas membaca buku, tapi hanya membaca ringkasan. Uniknya, aku sebagai pembuat ringkasan tidak dihukum atau bahkan dipanggil sekalipun. (Sumber)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.